Bloomberg Technoz, Jakarta – Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengatakan kenaikan impor bijih nikel dari Filipina sebenarnya merupakan sinyal positif yang menunjukkan hilirisasi di Tanah Air sudah lebih maju daripada negara tetangga.
Ketua Umum Perhapi Sudirman Widhy Hartono mengatakan persoalan impor bijih—saat Indonesia sudah dikenal sebagai produsen nikel nomor wahid dunia — sebenarnya bisa mencerminkan keuntungan maupun kerugian bagi RI.
“Keuntungannya, impor bahan mentah berupa bijih nikel dari Filipina menandakan dan menegaskan fakta bahwa kegiatan hilirisasi nikel telah terjadi dan berhasil dilakukan Indonesia. Sebaliknya, hal ini belum terjadi di Filipina [sehingga negara tersebut hanya bisa mengekspor bijih mentah],” ujarnya saat dihubungi, Selasa (15/7/2025).
Sudirman menjelaskan hingga saat ini Filipina memang menjadi salah satu negara di dunia yang memiliki cadangan nikel cukup besar.
Sayangnya, Negeri Lumbung Padi masih belum mampu mengembangkan pabrik pengolahan atau smelter nikel di dalam negerinya, sehingga produk penambangan dalam bentuk bijih masih bisa diekspor dengan nilai rendah.
Dengan mengimpor barang mentah dari Filipina untuk diolah menjadi produk hilir, Indonesia dinilainya mampu meningkatkan nilai tambah serta menghasilkan devisa yang besar dari produk yang berasal dari luar negeri.
Tidak hanya itu, Sudirman menjelaskan impor bijih nikel dari Filipina sebenarnya bisa menguntungkan Indonesia dalam hal menjaga ketahanan dan keberlanjutan cadangan nikel di dalam negeri.
“Sebab pasokan atau suplai bahan baku untuk pabrik pengolahan nikel Indonesia tidak sepenuhnya tergantung pada cadangan nikel nasional. Ini bisa menguntungkan dalam konteks ketahanan cadangan nikel nasional,” ujarnya.
Mengkhawatirkan
Pun demikian, Sudirman tidak menampik terdapat sisi negatif dari tren impor bijih nikel yang terus meningkat dari Filipina.
“Di satu sisi ini akan mengkhawatirkan dari sisi pabrik pengolahan, sebab akan mengesankan jaminan pasokan bijih nikel bagi smelter tidak terjamin, padahal Indonesia dikenal sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia,” katanya
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sumber daya cadangan nikel Indonesia berupa bijih mencapai 18,55 miliar ton dengan total cadangan sebanyak 5,32 miliar ton per 2023.
Kesan bahwa Indonesia tidak bisa mengelola stabilitas dan ketahanan cadangan nikelnya sendiri sehingga tetap harus impor dari Filipina dinilai dapat mengendurkan minat investor untuk masuk ke sektor hilirisasi mineral.
“Tudingan bahwa pasokan bijih nikel di Indonesia yang berkurang karena disebabkan oleh hambatan peraturan di pemerintah tidak sepenuhnya benar. Faktanya, produksi bijih nikel Indonesia dalam 5 tahun terakhir, cenderung mengalami peningkatan dari sebelum 2020,” ujar Sudirman.
Tingginya permintaan bijih juga tidak lepas dari banyaknya investasi smelter baru dalam kurun 5 tahun terakhir. Hal tersebut juga memicu lonjakan eksploitasi nikel di dalam negeri.
Sebagai perbandingan, produksi bijih nikel Indonesia tahun 2019 lalu hanya sekitar 52,76 juta ton, meningkat hampir empat kali lipat menjadi 240 juta ton pada 2024.
Menurut data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), saat ini terdapat 120 proyek smelter pirometalurgi berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF) di Indonesia yang membutuhkan total 584,9 juta ton bijih nikel.
Sementara itu, proyek hidrometalurgi atau berbasis high pressure acid leach (HPAL) hanya sebanyak 27 dengan kebutuhan total 150,3 juta ton bijih nikel.
Dengan demikian total proyek smelter nikel di Indonesia mencapai 147 proyek dengan estimasi total kebutuhan bijih 735,2 juta ton. Sementara itu, rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) nikel yang disetujui untuk 2025 mencapai 364 juta ton, naik dari tahun lalu sebanyak 319 juta ton.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mendata impor bijih dan konsentrat nikel dari Filipina mencapai 2,77 juta ton sepanjang Januari—Mei 2025.
Sepanjang 2024, RI tercatat mengimpor 10,18 juta ton bijih nikel dari Filipina yang didatangkan dari berbagai pelabuhan termasuk Morowali, Sulawesi Tengah dan Teluk Weda, Maluku Utara.
Beda Spesifikasi
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia mengatakan masih belum bisa mengonfrimasi klaim data dari pihak Filipina yang menyebut Indonesia akan mengimpor tambahan sekitar 5—10 juta ton bijih nikel dari negara tersebut.
Klaim tersebut baru bisa dibuktikan ketika kargo pengangkut nikel dari Filipina telah tiba di Tanah Air.
Akan tetapi, Hendra mensinyalir memang terdapat beberapa perusahaan smelter di dalam negeri yang melakukan pemesanan bijih nikel dari Filipina untuk mendapatkan karakteristik bahan baku yang sesuai dengan spesifikasi smelter mereka.
“Hal ini karena untuk beberapa smelter nikel, kualitas ore dari Filipina lebih cocok buat mereka; khususnya terkait dengan rasio silika magnesiumnya yang lebih rendah,” terangnya.
Medio pekan lalu, presiden unit pertambangan konglomerat Filipina, DMCI, Tulsi Das Reyes memprediksi impor bijih nikel dari Indonesia akan meningkat menjadi antara 5 juta dan 10 juta ton tahun ini dari sekitar 1 juta ton pada akhir 2023.
Sebagian besar produksi bijih nikel Filipina yang melebihi 30 juta ton masih ditujukan ke pasar utama China, tetapi pengiriman ke Indonesia meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Apalagi, Pemerintah RI memperketat kebijakan produksi di sektor pertambangan guna menstabilkan harga.
Reyes mengungkapkan sebagian dari proyeksi pengiriman bijih nikel DMCI sebesar 2 juta ton tahun ini akan dikirim ke Indonesia. Namun, lanjutnya, tren peningkatan aliran dari Manila ke Jakarta tidak akan bertahan lama.
“Jika saya Indonesia, saya akan memaksimalkan apa yang saya miliki secara internal,” ujarnya dalam wawancara dengan Bloomberg, Kamis (10/7/2025).
“Saya pikir mereka [Indonesia] tidak menginginkan banyak impor dari Filipina dan pemilik pabrik China juga kemungkinan akan memprioritaskan pasokan dari tambang mitra mereka di Indonesia,” imbuh Reyes.
Filipina merupakan produsen bijih nikel terbesar kedua di dunia, tetapi tertinggal dari Indonesia dalam mengembangkan industri hilirnya sendiri karena modal yang dibutuhkan untuk fasilitas pengolahan sangat besar.
Upaya terbaru Pemerintah Filipina untuk melarang ekspor mineral mentah guna mendorong para penambang berinvestasi di pabrik pengolahan dalam negeri ditolak oleh dewan legislatif Manila bulan lalu, di tengah protes dari kalangan pelaku industri nikel.
— Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)