Bloomberg Technoz, Jakarta – Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy Hartono mengatakan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) 1 tahunan—yang wajib diajukan ulang pada Oktober 2025 — belum disosialisasikan secara merata kepada seluruh penambang mineral dan batu bara (minerba).
Sudirman khawatir hal tersebut dapat berimplikasi terhadap terlambatnya persetujuan RKAB periode 2026. Apalagi, jumlah staf evaluator di Direktorat Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tak sebanding dengan jumlah perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang harus dievaluasi RKAB-nya.
“Ada kekhawatiran dari perusahaan tambang, dengan diterapkannya proses persetujuan RKAB 1 tahun, berpotensi terjadi keterlambatan pemberian persetujuan seperti yang pernah terjadi pada masa lalu,” kata Sudirman ketika dihubungi, Kamis (24/7/2025).

Berdasarkan data dan informasi yang dihimpunnya, setidaknya terdapat lebih dari 800 perusahaan pemegang IUP yang RKAB-nya harus dievaluasi oleh Ditjen ESDM dalam pelaporan pada Oktober.
Dia menjelaskan keterlambatan persetujuan RKAB bakal berdampak serius terhadap keberlangsungan operasional tambang, termasuk mengganggu kondisi keuangan perusahaan tambang.
Ganggu GMP
Bahkan, dia memprediksi keterlambatan itu dapat merusak kaidah good mining practice (GMP). Pasalnya, aktivitas pengelolaan lingkungan dan reklamasi pascatambang berpotensi terhenti jika persetujuan RKAB terlambat.
Risiko keterlambatan RKAB juga dinilainya dapat membuat operasional tambang berhenti tiba-tiba, sehingga timbul situasi tidak aman (unsafe condition) pada proyek penambangan.
“Kami harapkan pihak [Ditjen] Minerba segera memberikan kepastian atau sosialisasi apakah penerapan RKAB 1 tahun tersebut akan dilaksanakan atau tidak. Misalnya dengan mengeluarkan Permen [peraturan menteri] atau SK [surat keterangan] baru terkait RKAB,’ tegas dia.
Sudirman menduga perubahan RKAB dari skema 3 tahunan kembali menjadi 1 tahunan dilatarbelakangi turunnya kinerja komoditas pertambangan seperti batu bara dan nikel di pasar global. Dia menduga pemerintah ingin membatasi produksi nikel dan batu bara.
Jika dugaan itu benar, lanjut Sudirman, pemerintah disarankan mengeluarkan kebijakan lain yang dapat memengaruhi rencana produksi dalam RKAB 3 tahun eksisting yang telah ditetapkan. Bukan justru mengubah kembali RKAB 3 tahun menjadi 1 tahun.
Menurutnya, skema revisi RKAB yang telah berlaku dapat menjadi alternatif pemerintah untuk membatasi produksi tersebut. Nantinya, skema tersebut bisa saja diajukan oleh pemerintah, tak hanya oleh perusahaan.
“Sebagai contoh skema mekanisme revisi RKAB yang selama ini sebenarnya sudah berjalan dengan pengajuan dari pihak perusahaan. Namun, ke depan seharusnya bisa diterapkan juga pengajuan dari pihak pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM,” kata Sudirman.
“Dengan alasan untuk pengendalian jumlah produksi komoditas secara nasional yang juga harus didiskusikan terlebih dahulu dengan pihak Perusahaan yang akan direvisi jumlah produksinya,” lanjut dia.
Menurut Sudirman, skema RKAB untuk periode 3 tahun lebih memberikan kepastian bagi penambang untuk melakukan perencanaan bisnis.
Dengan skema 3 tahunan seperti saat inni, penambang dapat merencanakan investasi, eksplorasi, pembangunan infrastruktur, serta produksi untuk jangka menengah hingga panjang.
Kemudahan tersebut, lanjut Sudirman, juga akan didapatkan oleh kontraktor jasa pertambangan. Sebab para kontraktor dapat memastikan rencana investasi alat berat secara lebih baik, karena dukungan pembiayaan dari perbankan dapat masuk perencanaan.
“Sehingga RKAB selama 3 tahun dapat memberikan kepastian untuk memperkuat industri pertambangan, perusahan jasa pertambangan dan sekaligus perbankan,” tegasnya.

Sebelumnya, Dirjen Minerba ESDM Tri Winarno mengatakan perusahan pertambangan wajib mengajukan RKAB tahun depan pada Oktober 2025.
Dia mengatakan jadwal itu itu turut berlaku untuk perusahaan yang telah memiliki RKAB sebelumnya, saat periode pengajuan selama 3 tahunan.
Tri menuturkan keputusan itu diambil untuk menyesuaikan periode penyampaian RKAB yang akan dikembalikan menjadi 1 tahunan mulai 2026.
“Tetap nanti Oktober mengajukan lagi, [meskipun RKAB masih berlaku] ngulang lagi untuk 2026,” kata Tri kepada awak media di Kantor Kementerian ESDM, pada Selasa (22/7/2025).
Dalam kesempatan sebelumnya, Tri menjelaskan sistem administrasi RKAB 1 tahunan akan dilakukan secara digital. Dia menjelaskan, jika dilakukan secara manual dengan memberdayakan sumber daya manusia, administrasi RKAB cenderung menyita waktu lama.
Kementerian ESDM juga mengeklaim sudah menyampaikan rencana perubahan RKAB menjadi 1 tahunan kepada pengusaha tambang baik di sektor mineral maupun batu bara.
Isu perubahan skema RKAB pertambangan minerba mencuat saat Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada Rabu (2/7/2025) menyetujui usulan Komisi XII DPR RI untuk mengembalikan mekanisme persetujuan RKAB dari 3 tahunan menjadi 1 tahunan.
Keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan alasan ketidaksesuaian jumlah produksi minerba dengan kebutuhan atau permintaan di pasar.
Aturan persetujuan RKAB menjadi 3 tahunan, padahal, baru berjalan selama dua tahun terakhir atau sejak diterbitkannya Permen ESDM No. 10/2023 tentang Tata Cara Penyusunan, Penyampaian, dan Persetujuan Rencana kerja dan Anggaran Biaya Serta Tata Cara Pelaporan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
(azr/wdh)