Smelter Nikel HPAL Tertekan Harga Sulfur, Butuh Dukungan Insentif

Smelter Nikel HPAL Tertekan Harga Sulfur, Butuh Dukungan Insentif

Bloomberg Technoz, Jakarta – Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menyoroti lemahnya regulasi dan peran pemerintah dalam membantu keberlangsungan pabrik pemurnian (smelter) nikel hidrometalurgi berbasis high pressure acid leach (HPAL).

Smelter yang mengolah nikel limonit untuk memproduksi bahan baku baterai kendaraan listrik berupa mixed hydroxide precipitate (MHP) itu tengah ditekan kenaikan biaya produksi akibat harga sulfur yang menanjak.

Ketua Umum Perhapi Sudirman Widhy Hartono berpandangan pemerintah perlu hadir untuk membantu keberlangsungan smelter HPAL dengan memberikan fasilitas fiskal dan nonfiskal. Terlebih, smelter HPAL memiliki peran kunci dalam mendukung ambisi Indonesia menjadi ‘raja baterai’ terbesar setelah China.

“Pemerintah pun mendapat manfaatnya karena memperoleh royalti dan pajak yang besar. Namun, di satu sisi, kegiatan pabrik HPAL masih kerap mengalami kendala, dan pemerintah semestinya hadir untuk turut menyelesaikan kendala tersebut,” kata Sudirman ketika dihubungi, Selasa (5/8/2025).

Produksi mixed hydroxide precipitate (MHP) di pabrik pengolahan nikel./Bloomberg-Dimas Ardian

Sudirman menerangkan, jika kenaikan harga sulfur berlanjut dalam jangka waktu lama, profitabilitas smelter HPAL di Tanah Air bakal tergilas.

Tidak menutup kemungkinan, beberapa perusahaan pun akan mengevaluasi kegiatan produksinya pabrik hidrometalurginya.

Tidak  hanya itu, tekanan harga sulfur juga diprediksi memengaruhi minat calon investor di proyek smelter HPAL.

Insentif Impor

Dengan demikian, Sudirman meminta pemerintah mengatasi kendala yang dihadapi perusahaan smelter HPAL termasuk persoalan importasi asam sulfat, bahan baku pelindian bijih nikel.

Menurutnya, importasi asam sulfat di Indonesia terbilang rumit sehingga menyebabkan beberapa perusahaan smelter HPAL mengalami kelangkaan bahan baku beberapa waktu lalu.

Sudirman juga menyoroti kendala perizinan pengelolaan sisa hasil pengolahan smelter HPAL yang rumit dan berlarut-larut. Kendala itu bahkan diprediksi menyeret sejumlah perusahaan smelter HPAL ke ranah hukum, akibat pengolahan sisa hasil produksi menjadi bermasalah secara hukum.

“Pemerintah harus hadir dan membantu, karena keberlangsungan pabrik HPAL ini berkaitan dengan kepentingan yang besar terkait keberlangsungan penambangan bijih nikel limonit, hilirisasi industri nikel, konservasi mineral, investasi, penerimaan negara serta devisa,” ungkap dia.

“Jika pabrik HPAL mengalami tekanan serius oleh faktor eksternal dan regulasi seperti yang saat ini dihadapi, tentu akan memberikan dampak besar buat Indonesia,” tegasnya.

Kenaikan harga sulfur memengaruhi kinerja industri smelter nikel di Indonesia./dok. Bloomberg

Kenaikan harga sulfur memengaruhi kinerja industri smelter nikel di Indonesia./dok. Bloomberg

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa harga sulfur di pasar global menunjukkan tren kenaikan sepanjang triwulan I dan triwulan II-2025.

Dia mencatat kenaikan harga sulfur mencapai 30%—32% dibandingkan dengan rata-rata harga tahun lalu.

Pada akhir Juli, kata dia, harga sulfur di pasar spot China mencapai US$327/metrik ton, sementara di pasar spot India US$265/metrik ton.

Kenaikan harga sulfur itu diprediksi membengkakkan biaya produksi smelter HPAL sekitar US$1.500—US$2.5000 per ton dibandingkan dengan biaya produksi pada tahun lalu.

“Pabrik HPAL dengan dua jalur autoclave membutuhkan asam sulfat dalam jumlah besar, berkisar antara 1—2 juta ton per tahun, tergantung kapasitas produksinya,” tegas dia.

Selain itu, dia mencatat rata-rata harga nikel sepanjang tahun ini berkisar US$15.000/ton, turun cukup signifikan dari harga di awal tahun lalu yang sempat menyentuh US$20.00/ton.

“Dampaknya sangat terasa. Pabrik HPAL yang sebelumnya sangat menguntungkan, saat ini mengalami squeeze margin yang sangat besar. Nilai investasi pabrik HPAL padahal sangat besar dan mahal bisa berkisar antara Rp10 triliun—Rp20 triliun,” kata Sudirman.

Adapun, harga MHP—salah satu bahan baku baterai yang dihasilkan smelter HPAL— juga tercatat turun pada awal Agustus 2025, seiring dengan permintaan dari smelter hidrometalurgi di Indonesia yang melandai.

Menurut data Shanghai Metals Market (SMM), harga free on board (FOB) MHP Indonesia pada 1 Agustus tercatat sekitar US$12.496/ton nikel, atau hanya 83,5% hingga 84% terhadap harga nikel di indeks SMM.

Dari sisi suplai, menurut SMM, sirkulasi pasar MHP belakangan ini relatif ketat. Beberapa trader pun melaporkan menipisnya volume stok MHP yang tersedia.

“Beberapa pemain hulu dan hilir telah menandatangani pesanan untuk MHP kuartal IV dalam jumlah kecil [dari smelter HPAL di Indonesia],” papar SMM dalam laporan yang dilansir Jumat (1/8/2025).

Dari sisi permintaan, beberapa smelter HPAL tercatat telah mengajukan inquiry pada akhir pekan lalu, meskipun sentimen pembelian secara keseluruhan masih lemah.

“Secara keseluruhan, penawaran dan permintaan pasar [bahan baku baterai nikel] tetap ketat, dan harga diperkirakan akan stabil dalam jangka pendek,” tulis SMM.

Sementara itu, harga acuan nikel sulfat SMM tercatat sebesar 27.132 yuan per metrik ton dengan penawaran yang masuk pada kisaran 27.130—27.610 yuan/ton. SMM melaporkan rerata harga nikel sulfat terbilang stabil, meskipun pasokannya terbatas.

Untuk diketahui Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mencatat, saat ini terdapat 10 proyek smelter HPAL di Tanah Air. Sebanyak 6 di antaranya sudah beroperasi, sedangkan 4 lainnya masih dalam tahap konstruksi.

Enam smelter hidrometalurgi yang sudah beroperasi tersebut mencakup 15 lini produksi dengan kebutuhan bijih nikel sejumlah 62,25 juta ton basah atau wet metric ton (wmt). Empat yang masih dalam konstruksi mencakup 6 lini produksi dengan kebutuhan bijih nikel 56,94 juta wmt.

Secara kumulatif, kesepuluh smelter hidrometalurgi tersebut membutuhkan 119,20 juta wmt bijih.

Argus Media belum lama ini melaporkan harga sulfur global mulai naik sejak pertengahan 2024 karena permintaan yang lebih kuat dari Maroko dan Indonesia.

Harga sulfur FoB Timur Tengah naik lebih dari tiga kali lipat menjadi US$285,5/ton FoB per 1 Mei dari US$86/ton tahun sebelumnya, menurut penilaian Argus. Harga sulfur granular cost on freight (CFR) Indonesia naik US$185/ton menjadi US$297/ton CFR selama periode yang sama.

Sementara itu, harga sulfur telah meningkat secara signifikan selama setahun terakhir, sedangkan harga nikel intermediet asal Indonesia sebagian besar berada dalam kisaran US$12.000—US$14.000/ton nikel yang sejak Januari 2024.

Harga nikel yang relatif datar dan kenaikan harga bahan baku membuat margin smelter HPAL makin menyempit. Margin laba kotor untuk produk MHP mendekati US$10.000/ton pada 2023 sebelum turun menjadi sekitar US$7.000/ton pada 2024, menurut perkiraan Argus.

Sumber : https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/79528/smelter-nikel-hpal-tertekan-harga-sulfur-butuh-dukungan-insentif/2

Untuk Pendaftaran Keanggotaan Dapat Menghubungi Bagian Keanggotaan Sekretariat PERHAPI