Bisnis.com, JAKARTA — PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) atau Antam masih mengandalkan impor sebesar 30 ton emas per tahun untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produksinya. Pengamat pun mengingatkan agar pemerintah melakukan intervensi.
Adapun, impor emas tetap dilakukan lantaran produksi perseroan belum mencukupi, sedangkan banyak perusahaan tambang yang memilih ekspor atau menjual ke perusahaan perhiasan alih-alih ke Antam.
Saat ini, emas yang diproduksi atau ditambang oleh Antam hanya mencapai 1 ton per tahun, sementara kebutuhan emas di dalam negeri tahun ini diperkirakan mencapai 45 ton. Padahal, potensi produksi emas di Indonesia sebenarnya dapat mencapai 90 ton per tahun.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy menilai salah satu alasan perusahaan tambang enggan menjual emasnya ke Antam adalah karena pihak perusahaan pelat merah itu hanya bersedia untuk membeli emas saja. Antam terkendala membeli mineral ikutan lainnya seperti perak untuk dibeli secara bundling lantaran ada beban dari sisi perpajakan.
Sementara bagi perusahaan tambang tersebut, jika Antam hanya membeli emasnya, maka mereka akan kesulitan untuk menjual perak secara terpisah.
Oleh karena itu, Sudirman mengingatkan agar pemerintah melakukan intervensi. Hal ini guna memenuhi kebutuhan emas bagi Antam agar bisa menghentikan impor.
“Pemerintah bisa saja menerapkan kebijakan domestic market obligation [DMO] bagi perusahaan-perusahaan tambang emas lain yang selama ini masih menjual emasnya secara ekspor,” ucap Sudirman kepada Bisnis, Senin (13/10/2025).
Hal ini kurang lebih mirip dengan kebijakan DMO yang diterapkan untuk komoditas batu bara. Namun demikian, kata Sudirman, memang harus dipastikan jika kebijakan DMO ini akan tetap berlaku adil bagi kedua belah pihak.
“Baik bagi Antam sebagai pembeli maupun perusahaan tambang emas sebagai pihak penjual secara business to business, jangan merugikan satu pihak,” imbuhnya.
Dia menambahkan bahwa saat ini Antam sudah memiliki kerja sama jual beli emas dengan PT Freeport Indonesia (PTFI). Adapun, kontrak pembelian emas itu sekitar 25 ton sampai 30 ton emas per tahun. Namun, dengan adanya beberapa permasalahan yang dialami smelter Freeport, pasokan emas tersebut belum optimal.
“Pada saat produksi Freeport sudah kembali normal, diharapkan kebutuhan akan emas Antam yang saat ini terpaksa masih harus diimpor bisa dipenuhi oleh Freeport,” kata Sudirman. Sementara itu, Ekonom Senior di Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Ishak Razak mengatakan, idealnya pertambangan emas dikelola oleh BUMN sehingga emas langsung dimanfaatkan Antam. Selama ini tidak ada integrasi antara produsen dan pengelolaan lebih lanjut.
Belum lagi masih maraknya tambang emas ilegal yang tidak terpantau. Karena itu, Ishak menilai perusahaan tambang emas di Indonesia cenderung mengekspor atau menjual ke perusahaan perhiasan karena harga global lebih tinggi dan bebas PPN 13% serta lebih fleksibel.
“Sementara itu, negosiasi dengan Antam tampaknya kurang menarik akibat PPN dan syarat ketat,” ucap Ishak.
Sama seperti Sudirman, Ishak berpendapat pemerintah dapat menerapkan DMO yang fleksibel. Hal ini pun dapat diintegrasikan dengan penguatan peran bullion bank yang dapat menyerap produksi emas domestik.
Kendati, kebijakan tersebut perlu ditambah dengan insentif seperti pembebasan PPN. Artinya, perusahaan yang dapat memenuhi DMO dapat diberikan kuota ekspor tambahan.
“Pemberantasan tambang ilegal melalui legislasi dan pengawasan ketat plus sertifikasi emas juga krusial,” imbuh Ishak.