Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah mulai membuka pembahasan lanjutan dengan Amerika Serikat (AS) terkait permintaan akses terhadap mineral kritis Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, permintaan tersebut sudah masuk ke tahap diskusi implementasi dan menjadi bagian dari perundingan lanjutan perjanjian dagang Indonesia–AS.
Airlangga menegaskan, pembahasan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan dikaitkan dengan kepentingan perdagangan yang lebih luas, termasuk akses pasar, tarif, serta kerja sama investasi. AS disebut memiliki kepentingan besar terhadap pasokan mineral kritis Indonesia untuk menopang industri strategis, mulai dari manufaktur hingga transisi energi.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy menilai, prinsip utama dari kesepakatan dagang tersebut harus bersifat saling menguntungkan.
Bagi Indonesia, manfaat konkret yang harus diperoleh adalah kemudahan akses pasar AS dan tarif yang wajar bagi komoditas unggulan nasional seperti kelapa sawit, kakao, tekstil, hingga produk manufaktur.
“Kesepakatan dagang harus memberikan nilai tambah yang jelas bagi Indonesia, bukan hanya dari sisi mineral, tetapi juga dari komoditas lain yang selama ini menjadi andalan ekspor ke AS,” ujar Sudirman kepada Kontan, Senin (29/12/2025).
Terkait permintaan akses mineral kritis, Sudirman menegaskan hal itu bukan persoalan sepanjang mineral tersebut tetap diolah di dalam negeri. Indonesia, kata dia, selama ini sudah mengekspor produk hasil hilirisasi mineral kritis ke berbagai negara, seperti tembaga, nikel, bauksit dalam bentuk alumina, serta timah.
“Yang penting bukan dalam bentuk bahan mentah. Bisa saja sebagian ekspor produk hasil pengolahan dialihkan ke AS sebagai konsekuensi kesepakatan dagang, tentu dengan harga yang wajar sesuai pasar internasional,” ujarnya.
Adapun untuk logam tanah jarang (LTJ), Sudirman menilai kekhawatiran masih terlalu dini. Saat ini Indonesia belum memiliki industri pengolahan LTJ skala komersial dengan volume besar, sehingga belum menjadi isu krusial dalam jangka pendek.
Dari sisi sumber daya, Indonesia memiliki cadangan mineral kritis yang besar. Berdasarkan laporan Kementerian ESDM, cadangan bijih nikel mencapai 5,9 miliar ton dengan potensi sumber daya 19,15 miliar ton.
Cadangan bijih tembaga tercatat 2,85 miliar ton dengan potensi sumber daya 18,33 miliar ton. Sementara itu, cadangan bauksit mencapai 2,86 miliar ton dengan potensi 7,78 miliar ton, serta cadangan bijih timah sebesar 6,42 miliar ton dengan potensi sumber daya 8,27 miliar ton.
Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menilai, ketertarikan AS terhadap mineral kritis Indonesia sangat rasional, mengingat peran mineral tersebut bagi industri strategis dan keamanan nasional AS. Namun, ia mengingatkan agar Indonesia berhitung cermat sebelum memberikan akses yang terlalu luas.
“Jika akses mineral kritis menjadi bagian dari kesepakatan resiprokal, harus dibandingkan secara kuantitatif antara manfaat jangka pendek dengan kepentingan jangka panjang Indonesia dalam industrialisasi dan transisi energi,” ujar Singgih kepada Kontan, Senin (29/12).
Ia menegaskan, tidak semua negara memiliki cadangan mineral kritis yang memadai, sementara kebutuhan global terus meningkat. Karena itu, pemberian akses kepada AS harus diimbangi dengan komitmen investasi, peningkatan nilai tambah, transfer teknologi, serta penyerapan tenaga kerja.
“Jangan sampai akses penuh hanya berujung pada ekspor mineral mentah. Pengembangan mineral kritis harus memperkuat ketahanan ekonomi dan kemandirian industri nasional,” katanya.
Singgih menambahkan, potensi mineral kritis Indonesia masih bisa meningkat jika strategi eksplorasi dilakukan secara tepat. Pemerintah sendiri telah menetapkan 47 komoditas tambang sebagai mineral kritis melalui Keputusan Menteri ESDM. Sebagian di antaranya, seperti nikel dan tembaga, bahkan telah diproduksi secara masif.




