Cadangan Nikel Ditaksir Cuma 13 Tahun, RI Bisa Makin Gemar Impor

Cadangan Nikel Ditaksir Cuma 13 Tahun, RI Bisa Makin Gemar Impor

Bloomberg Technoz, Jakarta – Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli memperkirakan cadangan tertakar nikel Indonesia hanya tersisa 9—13 tahun lagi, sehingga membuka risiko makin tingginya candu impor bijih dalam industri hilirisasi komoditas tersebut.

Rizal menjelaskan smelter nikel, khususnya pirometalurgi atau yang berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF), membutuhkan nikel dengan kadar tinggi di atas 1,5% atau saprolit. Di sisi lain, cadangan nikel jenis tersebut sudah makin tergerus di dalam negeri.

“Cadangan kita, itu kalau dihitung, beberapa ahli menyatakan antara 9—13 tahun daya tahannya. Itu bukan waktu yang lama. Kita belum apa-apa sudah pensiun. Habis sudah. Kalau menurut saya, karena smelter itu banyak sekali dibangun; 100 lebih, bahkan 144 terakhir ya,” ujarnya saat ditemui, Senin (6/2/2025).

Pertumbuhan investasi smelter RKEF yang terlalu pesat, lanjutnya, berbanding lurus dengan permintaan yang tinggi terhadap nikel saprolit untuk bahan baku baja nirkarat.

Bijih nikel dibongkar dari kapal pengangkut curah Sansho./Bloomberg-Carla Gottgens

Di sisi lain, cadangan nikel saprolit terus menipis lantaran tidak diimbangi dengan upaya eksplorasi di wilayah-wilayah greenfield dan frontier untuk mempertebal daya tahan cadangan tertakar domestik.

Walhasil, manuver impor bijih nikel pun tidak terhindarkan, padahal Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia.

“Perusahaan-perusahaan besar seperti Vale atau Antam, memang dia akan survive karena areal [tambangnya] luas. Cadangannya banyak. Akan tetapi, yang kecil-kecil—apalagi smelter yang tidak terintegrasi dengan tambangnya — itu akan riskan,” kata Rizal.

Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total cadangan bijih nikel mencapai 5,32 miliar ton dan cadangan logam nikel 56,11 juta ton per 2024, di mana Maluku Utara menjadi provinsi dengan jumlah cadangan yang paling banyak. Perinciannya, 60% merupakan cadangan saprolit dan 40% limonit.

Adapun, total sumber daya bijih nikel adalah 18,55 miliar ton dan total sumber daya logam nikel adalah 184,6 juta ton.

Rekomendasi Moratorium

Lebih lanjut, Rizal mengatakan kalangan pakar pertambangan sudah pernah merekomendasikan moratorium pembangunan smelter RKEF baru kepada pemerintah. Jika tidak, cadangan nikel kadar tinggi di Tanah Air akan makin cepat habis.

Akan tetapi, upaya moratorium smelter metalurgi tersebut juga tidak mudah dilakukan lantaran banyak daerah basis nikel yang belum bisa mentransformasi motor ekonominya dari ketergantungan terhadap industri pertambangan nikel.

Satu-satunya cara yang urgen untuk dilakukan, kata Rizal, adalah dengan memacu eksplorasi nikel, terutama di wilayah-wilayah yang belum terjamah di Indonesia timur.

Menurutnya, potensi sumber daya nikel di Indonesia secara geologis masih tersebar di wilayah Sulawesi, Halmahera, Maluku, hingga Papua.

“Pemerintah harus melakukan upaya supaya eksplorasi di daerah frontier itu bisa berjalan cepat, karena eksplorasi butuh waktu yang lama. Bisa 8 tahun,” tegasnya.

Sebaran sumber daya nikel di Indonesia./dok. Kementerian ESDM

Hambatan Perizinan

Pada kesempatan terpisah, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyebut upaya eksplorasi sumber cadangan bijih nikel acapkali terbentur sengkarut perizinan; mulai dari izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) hingga rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin mengatakan di wilayah Papua, Sulawesi, dan Maluku Utara masih banyak harta karun nikel yang belum dibuka lantaran masih terganjal IPPKH dari Kementerian Kehutanan.

“Coba kita berani, mau gali? Kan tidak mungkin. Langsung disegel duluan kita,” ujarnya, ditemui usai agenda di kawasan Bundaran HI, awal pekan lalu.

Untuk itu, Meidy berharap pemerintah juga bersinergi lebih baik dalam menciptakan iklim perizinan yang lebih ramah bisnis.

Jangan sampai, lanjutnya, penambang yang telah mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP) dari Kementerian ESDM tidak bisa mengeksplorasi wilayah kerjanya lantaran tertahan oleh peraturan di Kementerian Kehutanan.

“Di Kementerian Kehutanan itu ada kuota IPPKH. Bisa mengajukan IPPKH, tetapi kuotanya habis. Orang kalau sudah kehabisan kuota, kan tidak bisa [mendapatkan izin]. Mesti ambil dari wilayah lain dahulu, karena kuota-kuota kehutanan terbatas. Akan tetapi di situ ada areal-areal potensi sumber daya alam, bukan hanya nikel. Di Kalimantan juga banyak kasus yang sama.”

Dalam konteks tersebut, Meidy menyebut pemerintah mesti mengambil posisi untuk mempermudah perizinan saat negara lain seperti Filipina sudah bersiap melarang ekspor mineral bijih, termasuk nikel.

Penyebabnya, selama ini industri pengolahan seperti smelter pirometalurgi di dalam negeri masih bergantung pada tambahan pasokan bijih nikel dari Filipina, meski cadangan sumber daya domestik masih banyak.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume impor bijih nikel dan konsentrat (ore nickel and concentrates) dengan kode HS 26040000 dari Filipina pada Februari 2025 sebanyak 2,38 juta ton. Angka ini naik dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebanyak 2,07 juta ton.

Permintaan dan daya tahan cadangan nikel Indonesia./dok. APNI

Selain itu, menurut International Energy Agency (IEA), tiga produsen nikel terbesar pada 2030 dari sisi pertambangan a.l. Indonesia (62%), Filipina (8%), dan New Caledonia (6%). Dari sisi smelter a.l. Indonesia (44%), China (21%) dan Jepang (6%).

“Pemerintah coba ambil posisi. Smelter yang sudah berproduksi butuhnya berapa [bijih nikel]?  Kalau misalnya 300 juta ton, RKAB sudah 300 juta ton, sudah dong. Kan persetujuan RKAB nikel 2025 sudah dapat 300 juta ton. Akan tetapi, apakah smelter cuma mau pakai sesuai apa yang menjadi demand?” kata Meidy.

Lebih lanjut, Meidy mengungkapkan Indonesia akan mulai mengimpor bijih nikel dari Solomon dan New Caledonia pada Juni 2025.

Jika ditotal, kebutuhan impor bijih nikel dari Solomon, New Caledonia, dan Filipina mencapai 30 juta ton hingga akhir tahun ini.

“Sejak tahun lalu kita sudah impor bijih nikel dari Filipina, pada [Juni] akan masuk dari Solomon dan New Caledonia,” kata Meidy.

Meidy menyebut sejumlah perusahaan nikel telah membuat kontrak impor dari kedua negara tersebut, tetapi detail volume hingga nilai impor bijih nikel tersebut belum ada.

“[Hal] yang pasti kan satu kali kan satu vessel. Berapa vessel saya belum tahu. Kalau sudah sampai baru saya tahu. New Caledonia sudah mulai masuk. Dari Solomon sudah kontrak ya. Delivery-nya kapan saya belum dapat informasi,” ujarnya. (wdh) 

Sumber : https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/72914/cadangan-nikel-ditaksir-cuma-13-tahun-ri-bisa-makin-gemar-impor/2