Bloomberg Technoz, Jakarta – Indonesia dinilai perlu membenahi rencana produksi nikel di tengah tekanan harga yang tidak kunjung membaik, guna mencegah gulung tikarnya industri smelter yang menjadi tulang punggung proyek hilirisasi andalan pemerintah.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy Hartono mengatakan sebagai negara penghasil nikel terbesar di dunia, Indonesia semestinya lebih cermat menentukan kuota produksi yang selaras dengan konsumsi industri pengolahan.
“Indonesia sudah sewajarnya dapat bertindak sebagai negara yang mempengaruhi harga nikel dunia, dengan mekanisme pengaturan produksi yang seimbang sesuai kebutuhan nikel dunia,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (4/6/2025).
Dia menerangkan kondisi harga nikel dunia yang makin terjerembap dapat membahayakan proses produksi dan operasional industri pengolahan di dalam negeri.

Sepanjang 2025, ujarnya, harga nikel di London Metal Exchange (LME) mengambang di kisaran US$15.000/ton. Sebagai perbandingan, nikel dilego di harga US$30.000/ton pada 2023. Artinya, dalam 2 tahun, harga sudah terkoreksi sekitar 50%.
“Koreksi harga nikel yang cukup tajam ini tentunya berdampak besar bagi perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan dan pemurnian atau smelter nikel,” kata Sudirman.
Tekanan Smelter
Saat harga nikel terus melorot, lanjutnya, biaya produksi komoditas tersebut saat ini justru makin membengkak akibat faktor global. Biaya investasi pembangunan pabrik pengolahan nikel saja mencapai sekira Rp10 triliun—Rp20 triliun.
Walhasil, margin atau keuntungan perusahaan smelter nikel makin mengecil, sehingga nilai keekonomian pabrik pengolahan menjadi berisiko tinggi.
Sebenarnya, kata Sudirman, fenomena tersebut tidak hanya dialami oleh perusahaan smelter di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia.
“Untuk mengatasi kondisi ini, hal yang wajar jika perusahaan pabrik pengolahan nikel akan melakukan upaya-upaya efisiensi guna menekan biaya produksi, dan mengurangi potensi kerugiaan,” tuturnya.
Siklus Normal
Pun demikian, Perhapi menilai tren penurunan harga nikel saat ini merupakan siklus yang normal di pasar komoditas. Pada 2016, kata Sudirman, nikel bahkan pernah menyentuh di bawah US$10.000/ton, sebelum berbalik ke level di atas US$40.000/ton.
“Dalam kondisi harga nikel kurang baik seperti saat ini, maka jika ada perusahaan yang mengurangi produksinya untuk menjaga kelebihan pasokan nikel di pasar dunia, Perhapi menilai hal itu adalah strategi yang normal dan lazim,” terangnya.
“Selain itu, Perhapi menyarankan ke pemerintah agar melakukan tata kelola nikel dengan lebih baik, agar memastikan keseimbangan antara suplai dan permintaan, dengan kebutuhan nikel global.”
Nikel diperdagangkan di harga US$15.438/ton hari ini di LME, melemah 0,64% dari penutupan hari sebelumnya.
Harga nikel sepanjang 2024 menyentuh rekor terendah dalam empat tahun terakhir setelah sebelumnya diproyeksikan mencapai US$18.000/ton, turun dari perkiraan sebelumnya di level US$20.000/ton, menurut lengan riset dari Fitch Solutions Company, BMI.
Gejala ambruknya harga nikel sudah terdeteksi sejak 2023. Rerata harga saat itu berada di angka US$21.688/ton atau terpelanting 15,3% dari tahun sebelumnya US$25.618/ton. Kemerosotan itu dipicu oleh pasar yang terlalu jenuh ditambah dengan lesunya permintaan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya memastikan pemerintah akan berupaya menjaga keseimbangan antara permintaan perusahaan terhadap rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) dan kapasitas industri.
Saat bersamaan, dia berjanji kepentingan pengusaha nikel lokal akan tetap diperhatikan.
“Membuat RKAB itu kan berdasarkan kebutuhan, ya. Pemangkasan [produksi] belum ada,” tegasnya saat ditemui di kantornya, medio Januari.
Dia lantas mencontohkan ketika perusahaan nikel mengajukan RKAB sebesar 20 juta ton untuk memenuhi kebutuhan pabriknya, Kementerian ESDM hanya akan memberi kuota sebesar 60% dari pengajuan tersebut.
Sementara itu, sisanya atau 40% harus mengambil dari pengusaha lokal.
Dalam kesempatan terpisah, Dirjen Minerba Kementerian ESDM Tri Winarno menyebut produksi bijih nikel dibidik sebanyak 220 juta ton sepanjang tahun ini, atau lebih rendah dari target yang dicanangkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 240 juta ton.
“Sudah ada, sekitar 220 juta ton, sekitar segitu [targetnya],” ujarnya saat dimintai konfirmasi, awal Februari.
Tri menggarisbawahi target produksi yang ditetapkan oleh pemerintah ini berbeda dengan target yang telah berada di kuota RKAB.
Kuota RKAB, kata dia, pasti lebih besar target yang ditetapkan oleh otoritas pertambangan negara. Pasalnya, RKAB terkadang kerap meleset lantaran adanya kendala sengketa lahan perusahaan.
“Jadi bedakan antara RKAB dengan target produksi. Karena, biasalah, terjadi dispute, misal sekarang sudah mengajukan RKAB, tetapi lahannya enggak bisa dibebaskan,” ujar Tri, seraya memastikan pemerintah kini akan tetap mengevaluasi RKAB yang telah disetujui periode 2024—2026.
Sekadar catatan, pemerintah pada Agustus 2024 resmi menetapkan RKAB nikel sebanyak 240 juta ton bijih pada 2024.
Selain itu, periode 2024—2026, Kementerian ESDM juga telah menyetujui sebanyak 292 permohonan RKAB pertambangan nikel, tetapi hanya 207 di antaranya yang diizinkan berproduksi.
— Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi
(wdh)