Bloomberg Technoz, Jakarta – Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menilai rencana pemerintah melegalkan tambang ilegal melalui skema izin pertambangan rakyat (IPR) perlu dilakukan terbatas hanya untuk tambang galian C.
Ketua Umum Perhapi Sudirman Widhy berpendapat jika kebijakan tersebut diterapkan untuk tambang mineral dan batu bara (minerba), pemenuhan regulasi terkait dengan analisis dampak lingkungan (Amdal), teknis pertambangan, hingga aspek good mining practice (GMP) akan sulit dipenuhi.
Walhasil, dia memandang kebijakan tersebut hanya akan menguntungkan jika menyasar tambang galian C —seperti tambang pasir hingga tambang material batu untuk konstruksi bangunan.
“Menurut kami, melegalkan tambang ilegal melalui sekma IPR masih dapat dimungkinkan untuk beberapa komoditas tambang galian C,” ujar Sudirman ketika dihubungi, Rabu (20/8/2025).
Meski begitu, Sudirman tetap mendorong pemerintah melakukan pengawasan ketat terhadap tambang galian C yang telah dilegalkan untuk memastikan operasional tambang memenuhi kaidah GMC hingga mematuhi regulasi yang berlaku.
“Hal ini tentunya akan menjadi PR [pekerjaan] yang sangat besar bagi pihak Minerba mengingat jumlah personel inspektur tambang yang juga terbatas,” tegasnya.
Dia pun menilai, akan terdapat banyak permasalahan yang timbul jika pemerintah melegalkan tambang batu bara ilegal. Misalnya, luas wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang terlalu sempit yakni 5 hektare (ha) untuk perorangan dan 10 ha untuk koperasi.
Terbatasnya luas WPR tersebut dipandang membuat pengembangan tambang batu bara sulit menerapkan GMP, karena setiap tambang membutuhkan area yang cukup besar untuk pit aktif maupun untuk reklamasi pascatambang
“Dikhawatirkan akan ada kemungkinan kaidah GMP tersebut tidak diindahkan akibat keterbatasan luas wilayah yang diijinkan oleh IPR. Hal yang sama juga dapat terjadi pada komoditas tambang mineral seperti nikel, emas, dan timah,” kata Sudirman.
Atas alasan tersebut, Sudirman mendesak pemerintah mengkaji kembali rencana melegalkan tambang ilegal khususnya pada sektor minerba.
“Menurut hemat kami, sebaiknya pemerintah harus berhati-hati dan mengkaji kembali secara lebih mendalam dampak dari rencana melegalkan tambang ilegal dengan skema IPR,” kata Sudirman.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan kementeriannya tengah mengidentifikasi sejumlah pertambangan ilegal yang saat ini dikerjakan masyarakat.
Dia menerangkan pemerintah memiliki perhatian untuk mendorong sejumlah pertambangan ilegal itu untuk bisa beroperasi lewat skema IPR.
“Untuk tambang ilegal ini kita lihat apakah dia ini tambang rakyat punya perizinan enggak, ini kita tetapkan wilayah pertambangan rakyatnya [WPR], kemudian kita berikan legalitas,” tutur Yuliot saat ditemui di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Adapun, Presiden Prabowo Subianto mengatakan, pemerintah bakal memberi ruang bagi masyarakat untuk bisa melakukan penambangan secara legal lewat bentuk koperasi. Menurut Prabowo, akses itu bisa memberi kesejahteraan bagi masyarakat di daerah.
“Kalau rakyat yang nambang ya sudah kita bikin koperasi kita legalkan, tetapi jangan alasan rakyat tahu-tahu nyelundup ratusan triliun,” kata Prabowo dalam pidato kenegaraan di hadapan Sidang Tahunan MPR 2025, Jumat (15/8/2025).
Di sisi lain, Prabowo menegaskan bakal memberantas praktik pertambangan ilegal yang ditudingnya merugikan negara senilai lebih dari Rp300 triliun, yang berasal dari sekitar 1.063 tambang ilegal.
Sekadar catatan, Kementerian ESDM sempat melaporkan bahwa jumlah WPR yang telah ditetapkan sebanyak 1.215 lokasi dengan total luas wilayah mencapai 66.593,18 ha per awal 2024.
Hanya saja, IPR yang telah diterbitkan Kementerian ESDM saat itu baru mencapai 82 WPR dengan luas mencapai 62,31 ha.
Adapun, sepanjang 2023 Kementerian ESDM mencatat terdapat 128 laporan pertambangan tanpa izin (PETI).
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno, dalam paparannya di Komisi XII DPR RI akhir tahun lalu, menjelaskan Sumatra Selatan menjadi provinsi yang paling banyak memiliki laporan PETI, yakni mencapai 26 laporan.
Riau menjadi provinsi kedua yang paling banyak memiliki laporan PETI, yakni 24. Posisi ketiga ditempati oleh Sumatra Utara yang memiliki 11 laporan.