Lika-Liku Proyek DME Pengganti LPG: Ditinggal Investor, Terganjal Keekonomian.

Lika-Liku Proyek DME Pengganti LPG: Ditinggal Investor, Terganjal Keekonomian.

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen untuk melanjutkan proyek hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) yang diwariskan oleh era pemerintahan sebelumnya.

Kepastian untuk melanjutkan megaproyek tersebut disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. Dia menuturkan bahwa proyek DME sangat penting untuk mengurangi ketergantungan Indonesia dalam impor LPG.

Proyek hilirisasi batu bara menjadi DME ini sejatinya sudah didengungkan sejak era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, rencana itu mandek usai PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) ditinggal investor utamanya dari Amerika Serikat (AS), Air Products & Chemical Inc. Proyek ini berakhir pada level MoU karena kebutuhan investasinya yang sangat besar. Saat ini, Indonesia menggunakan LPG sebagai bahan bakar, terutama gas 3 kilogram.

Meskipun demikian, dia mengatakan bahwa Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi kini telah merampungkan konsep dan pra-feasibility study (pra-FS) oleh Satuan Tugas Hilirisasi. Percepatan persiapan proyek ini dilakukan untuk mengejar target realisasi pada 2026, sekaligus sebagai upaya pemerintah mengurangi impor LPG.

“Karena kita kan impor LPG, contoh konsumsi LPG kita 8,5 juta ton, kapasitas produksi dalam negeri itu hanya 1,3. Jadi kita impor sekitar 6,5 sampai 7 juta ton,” kata Bahlil kepada wartawan, Jumat (24/10/2025). Gandeng Mitra Baru Menurut dia, langkah ini menjadi strategi substitusi impor dengan memanfaatkan hilirisasi batu bara sebagai bahan baku DME. Terkait teknologi yang akan digunakan dalam proyek tersebut, Bahlil menyebut pemerintah masih mengkaji dua opsi utama.

“Ini mitranya nanti dengan Danantara, teknologinya kan macam-macam ya, teknologi dari China, itu, bisa juga dari Eropa,” tuturnya.

Dia menegaskan, kepastian pemilihan teknologi akan ditentukan berdasarkan efisiensi. “Belum, tapi dua aja, kalau enggak Eropa, China. Yang efisien,” imbuhnya.

Dalam catatannya, konsumsi LPG di Indonesia sekitar 8,5 juta ton per tahun. Sementara itu, kapasitas produksi kurang lebih sekitar 1,3 juta ton. Alhasil, Indonesia hingga saat ini mengimpor 7–7,5 juta ton per tahun.

“Kenapa kita tidak bisa membangun industri LPG dalam negeri karena posisi gas kita itu kapasitas itu C1 dan C2, sementara untuk LPG itu C3 dan C4,” tutur Bahlil.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) tengah bersiap untuk melanjutkan kembali proyek gasifikasi batu bara menjadi DME pada tahun depan. PTBA memberi sinyal akan melanjutkan proyek tersebut bersama mitra baru dari China.

Tantangan Proyek DME

Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy Hartono menilai, masalah yang masih menjadi tantangan utama bagi rencana proyek DME adalah besarnya nilai investasi.

Hal ini terlihat dari hasil kajian kelayakan yang sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan tambang batu bara, termasuk PTBA. Widhy mengatakan, berdasarkan kajian itu, harga jual produk DME masih lebih tinggi dibandingkan patokan yang ditetapkan pemerintah, bahkan lebih tinggi dari harga LPG impor.

“Hal inilah yang mendasari program hilirisasi batu bara menjadi DME ini seperti masih jalan di tempat,” kata Widhy kepada Bisnis, dikutip Minggu (26/10/2025).

Merujuk paparan PTBA dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, Senin (5/5/2025), perusahaan pelat merah itu telah menjajaki sejumlah calon mitra baru proyek DME, yaitu CNCEC, CCESCC, Huayi, Wanhua, Baotailong, Shuangyashan, dan ECEC. Dalam hal ini, hanya ECEC (East China Engineering Science and Technology Co.) yang berminat sebagai mitra investor.

ECEC yang telah menyampaikan proposal awal (preliminary proposal) coal to DME pada November 2024, mengusulkan processing service fee (PSF) indikatif senilai US$412 hingga US$488 per ton. Angka tersebut lebih besar dibanding ekspektasi Kementerian ESDM, yakni senilai US$310 per ton.

Di sisi lain, harga DME yang dapat dihasilkan yakni senilai US$911-US$987 per ton. Angka ini juga lebih tinggi patokan DME yang diusulkan oleh Kementerian ESDM pada 2021 yakni sebesar US$617 per ton, belum termasuk subsidi.

Harga DME itu juga jauh lebih mahal dari rata-rata impor LPG ke Indonesia tercatat sebesar $435 per ton pada 2024.

Di sisi lain, PTBA memberikan perbandingan biaya subsidi LPG dengan DME apabila harga patokan DME US$911 per ton. Berdasarkan perhitungan, nilai subsidi untuk DME bisa mencapai US$710 per ton atau Rp123 triliun per tahun.

Angka tersebut lebih besar dibandingkan nilai subsidi untuk LPG pada kesetaraan DME saat ini sebesar US$474 per ton atau Rp82 triliun per tahun. Artinya, akan ada risiko kenaikan subsidi sebesar Rp41 triliun per tahun.

Oleh karena itu, Widhy merasa skeptis jika insentif yang direncanakan untuk diberikan oleh pemerintah dapat membantu secara signifikan penurunan biaya DME.

Memang, Widhy tetap sepakat jika proyek hilirisasi batu bara menjadi DME ini tetap didorong dengan tujuan untuk dapat menyubstitusi LPG, sehingga mengurangi ketergantungan impor LPG yang cukup menguras devisa negara.  Namun demikian, perlu dievaluasi kembali bersama-sama antara pemerintah dengan kalangan pengusaha serta offtaker produknya.

“Agar proyek nasional ini bisa direalisasikan tanpa harus merugikan karena nilai investasinya yang besar dan harga jualnya yang masih belum sebanding dengan nilai investasi yang harus dikeluarkan,” tutur Widhy.

Masalah Keekonomian

Widhy berpendapat, salah satu opsi alternatif yang mungkin dapat dipertimbangkan adalah dengan memusatkan proyek DME di satu lokasi saja secara terpusat. Selanjutnya para pengusaha mengirimkan batu bara ke proyek terpusat itu.

Dengan begitu, setiap perusahaan tidak perlu membangun proyek DME sendiri-sendiri. Menurutnya, opsi ini mampu menekan biaya untuk investasi pembangunan proyek.

“Pemerintah dapat meminta Danantara untuk menjadi investor untuk pembangunan proyek hilirisasi batu bara secara terpusat di sebuah lokasi tersebut dan tentunya tetap dengan menggandeng partner dan investor dari negara yang memiliki teknologi hilirisasi seperti dari China,” jelas Widhy.

Sementara itu, Ekonom Senior di Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Ishak Razak menilai, jika masalah keekonomian masih sukar diselesaikan, sebaiknya pemerintah mengurungkan proyek DME.

Sebagai gantinya, pemerintah sebaiknya mendorong pengembangan gasifikasi lewat jaringan gas (jargas) kota dengan memanfaatkan LNG domestik.

“Subsidi untuk infrastruktur [jargas] memang cukup besar namun bisa mengurangi subsidi dalam jangka panjang termasuk mengurangi kebutuhan devisa untuk mengimpor bahan baku LPG, yang akan semakin membebani anggaran di masa mendatang jika tidak diatasi,” kata Ishak.

Ishak mengamini pemberian KEK untuk proyek DME memang dapat mengurangi biaya produksi energi tersebut termasuk pembebasan bea masuk barang modal produksi DME. Namun, pemerintah harus menghitung dengan detil berapa potensi penurunan biaya produksi dengan insentif fiskal tersebut.

“Lalu, hingga kapan proyeksi nilai keekonomiannya bisa bersaing dengan LPG. Apakah subsidinya dalam jangka panjang akan lebih rendah dari LPG?” ucapnya.