Bloomberg Technoz, Jakarta – Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai eksploitasi tambang nikel di kawasan Raja Ampat belum urgen dilakukan Indonesia saat ini, meski pemerintah masih mengizinkan operasi PT Gag Nikel.
Bisman menyebut produksi bijih nikel di Indonesia sudah oversupply dengan harga yang cenderung menurun, sehingga cadangan yang ada di Provinsi Papua Barat Daya itu tidak mendesak untuk dieksploitasi atau ditambang saat ini.
“Kalaupun ada tambang nikel, mungkin bisa puluhan tahun yang mendatang. Untuk apa? Untuk cadangan kan biarkan di Raja Ampat ini menjadi cadangan strategis. Kan ada yang namanya WPN atau wilayah pencadangan negara,” ujarnya saat dihubungi, dikutip Rabu (11/6/2025).
Menurut UU No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), WPN merupakan bagian dari wilayah pertambangan yang dicadangkan demi kepentingan strategis nasional.

Raja Ampat, menurutnya, lebih baik dijadikan sebagai WPN nikel yang baru akan dieksploitasi jika betul-betul dibutuhkan. “Untuk sekarang, yang jauh lebih bagus, dipertahankan tanah alam dan itu lebih mahal daripada produk nikelnya.”
Bagaimanapun, Bisman menggarisbawahi upaya eksplorasi potensi sumber daya nikel tetap harus dilanjutkan lantaran eksplorasi membutuhkan waktu lama untuk bisa mendapatkan data cadangan tertakar guna meningkatkan produksi nasional pada masa depan.
Apalagi, lanjutnya, harga nikel pada masa mendatang masih memiliki potensi untuk kembali rebound seiring dengan ekspektasi kenaikan permintaan untuk kebutuhan berbagai sektor industri, termasuk kendaraan listrik.
Nikel hari ini diperdagangkan di US$15.421/ton di London Metal Exchange (LME), melemah 0,43% dari hari sebelumnya.
Perlakuan Khusus
Lebih lanjut, Bisman menilai praktik pertambangan di Raja Ampat semestinya mendapatkan perlakuan khusus dibandingkan dengan daerah-daerah lain.
Hal itu karena Raja Ampat menyimpan kekayaan alam lingkungan hidup dan ekologi yang harus dipertahankan. Dengan demikian, proses perizinan di wilayah tersebut perlu mendapatkan evaluasi menyeluruh.
Tidak hanya itu, dia menegaskan pemerintah harus mengevaluasi proses operasi dan pengawasan tambang nikel di kawasan tersebut agar jangan sampai terjadi produksi besar-besaran yang merusak lingkungan seperti di Sulawesi Tengah dan Tenggara.
“Akan tetapi, khusus Raja Ampat saya kira [eksploitasi] tidak boleh dilakukan hari ini karena jauh lebih penting mempertahankan lingkungan dan ekologi yang ada di Raja Ampat,” lanjut Bisman.
Senada, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy Hartono berpendapat eksplorasi atau proses pencarian deposit/cadangan nikel penting untuk dilanjutkan karena menyangkut validitas informasi mengenai data sumber daya maupun cadangan di suatu negara.
“Data tersebut penting guna menentukan rencana strategis produksi [penambangan] nikel jangka panjang, sebagai bagian dari rencana pembangunan negara,” kata Sudirman.
Sudirman mengatakan saat ini program eksplorasi di Indonesia masih sangat minimalis, tidak hanya untuk komoditas nikel, tetapi juga terhadap komoditas mineral lainnya seperti tanah jarang.
Alih-alih eksplorasi, terang Sudirman, hal yang harus dikendalikan dan diawasi dengan baik adalah proses eksploitasi atau produksi atau penambangan nikel khususnya di wilayah seperti Raja Ampat.
Dia menggarisbawahi pemerintah harus mengevaluasi dan memperketat pengawasan agar eksploitasi atau penambangan nikel tidak dilakukan secara jorjoran, tanpa melihat kondisi permintaan dan situasi pasar.
“Dalam beberapa kesempatan, kami di Perhapi telah menyampaikan perlunya pemerintah untuk melakukan moratorium persetujuan pembangunan smelter-smelter nikel yang baru, guna mencegah produksi nikel yang berlebihan,” kata Sudirman.

Pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat akhir-akhir ini menuai sorotan publik, setelah Greenpeace Indonesia mengklaim praktik tambang di kawasan tersebut telah mengakibatkan berbagai kerusakan lingkungan.
Kemarin, pemerintah akhirnya mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan di Raja Ampat. Mereka a.l. PT Kawei Sejahtera Mining di Pulau Kawe, PT Mulia Raymond Perkasa di Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun, PT Anugerah Surya Pratama di Pulau Manuran dan PT Nurham di Pulau Yesner Waigeo Timur.
Adapun, kontrak karya (KK) PT Gag Nikel—anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam — tidak dicabut, sehingga perseroan masih diizinkan untuk terus beroperasi.
PT Gag Nikel tercatat mengamankan kuota produksi bijih nikel mencapai 9 juta ton basah atau wet metric ton (wmt) dari konsesi tambang di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya.
Perseroan telah mendapat persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk periode 2024 sampai dengan 2026.
Perinciannya, Kementerian ESDM memberikan kuota produksi untuk 3 juta wmt pada 2024. Selanjutnya, kuota produksi bijih nikel yang sama masing-masing 3 wmt diberikan untuk alokasi 2025 dan 2026.
Gag Nikel mengantongi kontrak karya generasi VII dengan luas wilayah 13.136 hektare (ha). Kontrak karya itu telah memasuki tahap Operasi Produksi berdasarkan SK Menteri ESDM No.430.K/30/DJB/2017.
Surat keputusan itu dikeluarkan oleh Menteri ESDM kala itu Ignasius Jonan. Lewat keputusan itu, PT Gag Nikel memiliki konsesi sampai 30 November 2047.
Berdasarkan data milik Antam per Agustus 2024, Gag Nikel mencatat cadangan bijih nikel mencapai 59 juta wmt. Sementara itu, potensi sumber daya dari tambang di Pulau Gag itu mencapai 318 juta wmt.
(wdh)