Bloomberg Technoz, Jakarta – Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) memproyeksikan dampak kebijakan pembatasan penerbitan Izin Usaha Industri (IUI) bagi smelter nikel baru akan terasa pada 2027.
Penyebabnya, kelebihan pasokan feronikel (FeNi) dan nickel pig iron (NPI) global akan makin berkurang pada tahun tersebut, seiring dengan penerapan regulasi pengetatan smelter berbasis IUI baru.
“Akan memberikan dampak jangka menengah–panjang. Perhapi memperkirakan, mulai sekitar 2027 ke depan, dampaknya akan lebih terasa, berupa pasokan nikel kelas 2 [NPI, FeNi] akan terbatas karena tidak ada smelter baru untuk produk antara,” kata Ketua Umum Perhapi Sudirman Widhy saat dihubungi, Rabu (12/11/2025).
Dia menyebut pasokan global nikel kelas 2 dari Indonesia—yang selama ini mendominasi pasar baja nirkarat global — bisa menurun secara struktural karena keterbatasan produksi.
Hal ini berpotensi menekan ketersediaan bahan baku baja nirkarat, yang secara langsung mungkin akan berdampak pada peningkatan harga nikel dan menggeser investasi ke teknologi daur ulang (scrap stainless steel).

Tak hanya itu, pembatasan smelter baru dinilai akan menyebabkan perubahan arus investasi di Indonesia.
Menurut Sudirman, pemerintah akan mendorong investor baru untuk masuk ke investasi di proyek-proyek produk akhir atau end product berbasis nikel, seperti memproduksi baja nirkarat, sulfate plants atau electro-refining plants.
Penurunan RKEF
Lebih jauh, Sudirman menilai investasi pada smelter nikel pirometalurgi berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF) akan menurun drastis karena izin baru yang tidak diberikan oleh pemerintah.
Akan tetapi, dalam jangka pendek atau setidaknya dalam tiga tahun pertama, regulasi itu tidak akan langsung berdampak pada pasar global karena kebijakan ini tidak berlaku surut bagi smelter yang sudah beroperasi atau pabrik yang telanjur masuk fase konstruksi.
Menurutnya, produksi NPI, nickel matte, atau mixed hydroxide precipitate (MHP) dari smelter eksisting masih akan berlanjut terutama untuk memenuhi permintaan dari sejumlah negara yang masih sangat bergantung pada pasokan tersebut.
Artinya, pasar nikel primer seperti NPI dan nickel matte masih akan relatif stabil secara volume dalam waktu dekat. Namun, penambahan kapasitas baru untuk produk antara akan tertahan sementara pertumbuhan pasokan dari Indonesia akan melambat.
Sudirman menambahkan kebijakan itu berimplikasi positif bagi Indonesia lantaran bakal meningkatkan nilai tambah dan ekspor produk akhir berbasis nikel, mendorong pembangunan industri baterai, dan ekosistem kendaraan listrik.
Tak hanya itu, klaimnya, aturan tersebut juga mengurangi ketergantungan terhadap ekspor bahan setengah jadi ke negara lain.

Namun demikian, kebijakan ini juga memiliki tantangan karena investasi di sektor hilir seperti sulfate, chloride, electrolytic membutuhkan teknologi dan modal lebih tinggi dari industri produk antara. Sementara itu, infrastruktur dan daya dukung lainnya di Indonesia masih sangat terbatas.
Untuk itu, Perhapi menilai pemerintah perlu memberikan insentif fiskal, jaminan pasokan bijih, dan kesiapan infrastruktur energi serta kepastian hukum termasuk terkait perizinan pengelolaan limbah yang mendukung, agar investor bersedia masuk ke sektor tersebut.
“Perhapi juga menekankan, demi kepastian hukum dan jaminan investasi, bagi perusahaan pabrik pengolahan nikel yang telah dan sedang melakukan konstruksi sebelum PP ini disahkan, semestinya tetap diberikan izin usaha industri dengan mengikuti ketentuan yang berlaku,” jelas Sudirman.
Sebagai informasi, Kementerian Perindustrian mengonfirmasi telah memperketat penerbitan IUI smelter nikel standalone—atau yang tidak terintegrasi dengan tambang — baik jenis pirometalurgi maupun hidrometalurgi.
Hal itu sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) yang diteken Presiden Prabowo Subianto sejak 5 Juni 2025.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Setia Diarta menjelaskan hilirisasi nikel di Indonesia didorong tidak lagi diolah hingga kelas dua yakni NPI, FeNi, nickel matte, MHP; melainkan pada produk yang lebih hilir seperti nickel electrolytic, nickel sulphate, dan nickel chloride.
Akan tetapi, Setia mengungkapkan Kemenperin masih memberikan kelonggaran bagi smelter nikel yang sudah memasuki tahap konstruksi dan berencana mengolah nikel menjadi produk antara atau intermediate.
“Sesuai RIPIN PP No. 14/2015, untuk target industri pengolahan dan pemurnian nikel tahun 2025—2035 bukan lagi pada nikel kelas 2,” kata Setia ketika dihubungi Bloomberg Technoz.
Adapun, Kemenperin mencatat sampai dengan Maret 2024, Indonesia memiliki total 44 smelter nikel pemegang IUI yang beroperasi di bawah binaan Ditjen ILMATE. Lokasi terbanyak berada di Maluku Utara dengan kapasitas produksi 6,25 juta ton per tahun.
Jumlah tersebut belum termasuk 19 smelter nikel yang sedang dalam tahap konstruksi, serta 7 lainnya yang masih dalam tahap studi kelaikan atau feasibility studies (FS). Dengan demikian, total proyek smelter nikel pemegang IUI di Indonesia per Maret 2024 mencapai 70 proyek.
— Dengan asistensi Azura Yumna Ramadani Purnama.




