Bisnis.com, JAKARTA — Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menilai pemerintah perlu lebih selektif dalam memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada perusahaan. Hal ini guna menghindari tindakan pembekuan operasional tambang.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Sudirman Widhy Hartono mengatakan mestinya izin tambang sedari awal diberikan hanya kepada pihak yang memiliki kemampuan finansial memadai yang dapat menjalankan kegiatan tambang sesuai prinsip good mining practice.
Sebab, kegiatan tambang yang berkelanjutan membutuhkan modal dan biaya operasional yang besar, termasuk untuk memenuhi kewajiban penempatan jaminan reklamasi.
“Itulah sebabnya mengapa kami selalu menekankan agar pemerintah benar-benar berhati-hati dan selektif di dalam memberikan IUP kepada sebuah perusahaan yang berminat untuk menjadi pemegang IUP,” katanya kepada Bisnis, Minggu (12/10/2025).
Dia sepakat bahwa jaminan reklamasi merupakan dana yang wajib ditempatkan perusahaan tambang sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kegiatan pascatambang.
Dana tersebut berfungsi sebagai cadangan jika perusahaan tidak melaksanakan reklamasi sesuai ketentuan, sehingga pemerintah dapat mengambil alih tanggung jawab tersebut menggunakan dana jaminan yang sudah ditempatkan.
“Nilai jaminan reklamasi itu setara dengan biaya reklamasi tambang, artinya perusahaan harus mengalokasikan dana dua kali, yakni untuk penempatan jaminan dan pelaksanaan reklamasi itu sendiri,” jelasnya.
Meski demikian, dana jaminan reklamasi dapat dicairkan kembali setelah perusahaan menyelesaikan kegiatan reklamasi dan hasilnya diterima dengan baik oleh pemerintah, dalam hal ini Ditjen Minerba Kementerian ESDM.
Dia menilai, skema tersebut memang dapat menimbulkan tekanan arus kas (cash flow) bagi perusahaan tambang yang memiliki keterbatasan finansial.
Untuk itu, selektivitas pemerintah dalam pemberian IUP menjadi kunci untuk memastikan hanya perusahaan yang benar-benar mampu menjalankan kewajibannya yang beroperasi.
Lebih lanjut, pihaknya mendukung langkah pemerintah yang memberikan sanksi penghentian sementara bagi perusahaan tambang yang belum menempatkan jaminan reklamasi.
“Sanksi itu sudah tepat. Toh sifatnya hanya sementara. Begitu perusahaan memenuhi kewajiban penempatan dana jaminan, maka sanksi akan dicabut dan mereka dapat beroperasi kembali,” ujarnya.
Dia menegaskan, kebijakan ini penting untuk memastikan kegiatan pertambangan di Indonesia dijalankan sesuai standar keberlanjutan, dengan memperhatikan aspek lingkungan dan tanggung jawab pascatambang.
Adapun, hal ini sebagai respons dari penangguhan operasi 190 perusahaan berdasarkan surat Ditjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM dengan Nomor T-1533/MB.07/DJB.T/2025. Surat tersebut ditandatangani pada 18 September 2025.
Berdasarkan surat itu, penangguhan dilakukan sebagai sanksi bagi perusahaan lantaran tak memberikan jaminan reklamasi pascatambang.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Tri Winarno mengatakan, hingga saat ini, perusahaan yang sudah membayar jaminan reklamasi sebanyak 10-15 perusahaan.
“Enggak banyak sih, tapi mungkin sekitar 10-15 perusahaan. Kita enggak hitung secara [jumlah nilai pembayaran], tetapi lebih kepada ketaatan. Sanksinya udah dicabut,” ujarnya, ditanya terpisah.
Dia mengaku tidak memahami alasan perusahaan enggan membayarkan jaminan reklamasi ataupun tidak taat dengan aturan tersebut.