JAKARTA, KOMPAS.com – Persaingan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas, kali ini terkait pasokan logam tanah jarang atau rare earth element (LTJ). Komoditas strategis ini tengah diburu karena menjadi bahan utama berbagai teknologi canggih, mulai dari kendaraan listrik, turbin angin, hingga peralatan pertahanan. Ketegangan meningkat setelah mantan Presiden AS Donald Trump mengancam akan menerapkan tarif masuk hingga 100 persen untuk impor asal China mulai 1 November 2025. Langkah ini dipicu isu rantai pasok LTJ yang selama ini masih bergantung besar pada Negeri Tirai Bambu. “Dibutuhkan peta jalan pengembangan mineral dan LTJ dari hulu ke hilir untuk mendukung kemandirian mineral strategis nasional,” ujar Edi Permadi, Tenaga Profesional Lemhannas RI, melalui keterangannya, Senin (13/10/2025).
Menurut Edi, lebih dari 60 persen pasokan bijih mineral tanah jarang dunia bersumber dari China, dan lebih dari 90 persen proses pemurniannya dilakukan di negara tersebut. Ketergantungan global ini membuat posisi China begitu dominan dalam industri LTJ.
“Permintaan logam tanah jarang diperkirakan tumbuh 50 sampai 60 persen pada 2040 dan akan melampaui pasokan. Salah satu pendorong utamanya adalah kebutuhan magnet permanen untuk kendaraan listrik dan teknologi maju,” tambahnya.
Potensi Indonesia di Tengah Ketegangan Global Indonesia dinilai punya peluang besar menjadi pemain baru dalam industri logam tanah jarang. Potensi LTJ ditemukan dalam mineral ikutan timah, bauksit, nikel, hingga batuan granit dengan kandungan radioaktif. Hingga kini, belum ada izin usaha pertambangan khusus LTJ di Indonesia. Namun, sejumlah potensi sudah teridentifikasi dalam bentuk mineral monasit yang menjadi produk samping pertambangan timah. Presiden Prabowo Subianto disebut mendorong pengembangan LTJ lewat PT Timah Tbk, produsen timah terbesar di Indonesia. Emiten berkode TINS ini memiliki cadangan monasit dan telah membangun pilot plant pengolahan LTJ di Tanjung Ular, Kabupaten Bangka Barat, bersama MIND ID sebagai holding BUMN pertambangan. “Langkah-langkah percepatan dilakukan melalui kerja sama dengan pihak yang lebih maju untuk pengolahan, hilirisasi, dan industrialisasi menjadi produk strategis nasional dengan mempertimbangkan sensitivitas geopolitik dunia,” tutur Edi.
Eksplorasi dan Hilirisasi Jadi Kunci Kunci pengembangan LTJ di Indonesia ada pada eksplorasi dan hilirisasi. Data Badan Geologi mencatat, LTJ terdiri dari 17 unsur dengan karakter kimia serupa, di antaranya lanthanum (La), cerium (Ce), neobdium (Nd), dan yttrium (Y). Potensi LTJ di Indonesia tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bangka Belitung. Unsur logam tanah jarang umumnya ditemukan pada mineral monasit, xenotim, dan sebagian pada hasil samping tambang bauksit maupun nikel. “Indonesia bisa menjadi pemain penting jika mampu membangun infrastruktur pengelolaan dari hulu hingga ke hilir. Tahapannya mulai dari eksplorasi sesuai standar nasional dan internasional, membangun fasilitas pemurnian, hingga industri hilir berbasis LTJ,” ujar Edi.
Namun, ia menekankan, semua itu memerlukan dukungan regulasi dan kerja sama lintas kementerian. Saat ini, tantangan utama meliputi ketiadaan data cadangan yang komprehensif, belum adanya infrastruktur pengolahan, serta tata kelola usaha yang belum diatur secara rinci. “Saat ini kegiatan eksplorasi masih terus dilakukan untuk memperoleh data lebih lengkap mengenai sebaran dan sumber daya LTJ. Lima pilar hilirisasi – sumber daya manusia kompeten, permodalan kuat, teknologi, izin sosial, dan regulasi lintas sektoral, harus berjalan bersama agar pengembangan LTJ berkelanjutan,” pungkasnya.