Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Moratorium smelter nikel atau penangguhan sementara terhadap pembangunan maupun perizinan baru smelter nikel khususnya yang memiliki teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dinilai makin mendesak dilakukan.
Asal tahu saja, smelter RKEF menghasilkan feronikel yang merupakan bahan baku untuk pembuatan baja tahan karat atau stainless steel. Sayangnya, importir utama stainless steel Indonesia, yaitu China menurunkan permintaannya di Indonesia.
Ini tercermin dari turunnya produksi smelter nikel dari raksasa produsen stainless steel asal China di Indonesia yaituTsingshan Holding Group yang digerakan melalui PT Tsingshan Steel Indonesia.
Berdasarkan data dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) pada Januari 2025 kapasitas produksi Tsingshan berada pada angka 150.000-160.000 ton. Angka ini terus merosot hingga Juni 2025, Tsingshan hanya melakukan pemurnian terhadap 80.000 ton nickel pig iron (NPI).
Penurunan produksi juga dialami oleh pemilik smelter nikel terbesar di Indonesia lainnya, yaitu PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), yang merupakan bagian dari Jiangsu Delong Nickel Industry Co.
Masih berdasarkan data APNI, pada awal tahun ini PT GNI masih melakukan pemurnian terhadap 100.000 ton NPI, angka ini terus merosot tajam, pada Juni 2025, GNI hanya mampu memurnikan 10.000-20.000 ton NPI.
Menurut Dewan Penasihat Pertambangan APNI, Djoko Widajatno, pemangkasan produksi di smelter juga diikuti oleh PT Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI) dan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNI).
“Data kami menunjukkan tren penurunan signifikan yang dapat berdampak pada serapan bijih nikel dari tambang,” ungkap Djoko saat dihubungi, Selasa (10/06).
Moratorium smelter khususnya RKEF katanya diperlukan sebagai sikap dari menurunnya permintaan stainless steel. Dengan moratorium, oversupply bijih nikel bisa dicegah dan menjaga agar harga nikel tetap stabil.
Hal senada juga diungkap oleh Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi). Menurut Ketua Perhapi, Sudirman Widhy, sejak dua tahun lalu pihaknya telah mengusulkan smelter baru berbasis teknologi RKEF.
“Ini juga sehubungan dengan tingkat produksi tahunan nikel kadar tinggi atau saprolite, yang saat ini dianggap sudah lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan kebutuhan pasar,” ungkap Sudirman.
Ia memperkirakan cadangan nikel Indonesia hanya tersisa 9—13 tahun lagi, ini karena konsumsi nikel, terutama jenis saprolit yang tinggi, dengan perkiraan 210 juta ton per tahun.
“Tapi ini bukan berarti kemudian menyetop progress pembangunan smelter yang sedang berjalan, karena bagaimanapun kita harus menghormati investor yang memang sudah mendapatkan ijin untuk membangun smelter,” ungkapnya.
Perhapi kata dia, lebih mendorong investasi pada smelter nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang menggunakan nikel berkadar rendah atau limonit.
“Ini untuk menghasilkan product akhir Mixed Hydroxide Precipiate (MHP), yang nantinya dijadikan sebagai bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik atau EV,” jelasnya.
Adapun, Executive Director Indonesian Mining Association (IMA), Hendra Sinadia mengakui bahwa kondisi ekonomi China saat ini sedang melemah. Disisi lain, terdapat kondisi oversupply nikel dunia yang mendorong penurunan harga nikel dunia.
“Saat ini kondisi global nickel demand masih didominasi dari industry stainless steel yaitu sekitar 65% dan industry baterai EV di level 13-15%,” jelasnya.
Sedangkan, hampir 50% dari industri stainless steel dunia masih dipasok oleh China.
Sayangnya, Hendra bilang keputusan lanjutan mengenai moratorium smelter RKEF perlu diputuskan oleh kementerian terkait. Yaitu Kementerian ESDM sebagai kementerian yang memberikan izin bahan baku bijih, Kementerian BKPM terkait investasi lanjutan smelter dari asing hingga Kementerian Perindustrian untuk izin industri smelter tunggal tanpa tambang.
“Terkait potensi moratorium smelter nikel dengan teknologi RKEF menurut kami sebaiknya ditanyakan ke pihak Pemerintah sebagai regulator,” tambahnya.
Pemerintah Belum Bisa Memutuskan Moratorium Smelter Nikel
Berdasarkan catatan Kontan, pada awal Agustus 2024 lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah berjanji untuk tidak lagi memberikan izin investasi baru untuk smelter RKEF.
Menteri ESDM yang saat itu menjabat, Arifin Tasrif mengatakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga sudah menyepakati terkait tidak adanya izin investasi baru smelter RKEF.
Namun berdasarkan pernyataan terbaru dari Menteri ESDM yang saat ini menjabat Bahlil Lahadalia, pihaknya belum bisa memberikan jawaban pasti terkait moratorium.
“Kami pemerintah dalam menjalankan arah kebijakan negara selalu berpikir tentang kepentingan rakyat dan bangsa negara, yang tujuan kita dalam berbangsa dan bernegara dan melihatnya secara komprehensif utuh, tidak secara parsial,” kata Bahlil dalam Konferensi Pers di Jakarta, Selasa (10/6).
Menurutnya, saran terkait moratorium boleh saja diungkapkan, namun keputusan akhir akan mengikuti target pemerintah terkait hilirisasi nikel yang bersih atau green sehingga bisa diterima di luar negeri.
“Saran-saran (moratorium) seperti tadi silakan saja, tapi nanti pemerintah yang akan memutuskan. Ke depan, kita lagi mendorong hilirisasi kita dengan baik. Hilirisasi yang betul-betul green, yang bisa diterima produk kita di luar negeri,” katanya.