NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Industri pertambangan nikel Indonesia siap dan optimistis menghadapi dinamika global. Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menegaskan hal tersebut dalam audiensi APNI bersama Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) dengan Bappenas, di Jakarta, Selasa (11/3/2025).
Pada acara yang berlangsung di Kantor Bappenas, Menteng, ini APNI, PERHAPI, dan Bappenas membahas “Penyelenggaraan Forum ESG untuk Penyusunan Standar ESG Industri Nikel Indonesia”, Meidy menekankan, meskipun tantangan besar, seperti fluktuasi harga dan geopolitik masih ada, pihaknya tetap yakin dengan potensi dan daya saing sektor ini.
“Saya konfirmasi beberapa merek besar, seperti Bajaj, Tesla, Mercedes, Hyundai, BYD, dan GM, masih mampu bertahan. Karena, pada 3 – 5 September nanti akan ada pertemuan besar yang melibatkan 400 perusahaan dari berbagai negara. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk menunjukkan kekuatan dan kontribusi industri Indonesia di kancah dunia,” ujarnya.
Ia menambahkan, beberapa agensi dunia, seperti LME, SMM, dan Argus Media, akan turut hadir dalam acara tersebut. Pertemuan besar itu nanti akan mengangkat berbagai isu penting terkait perdagangan komoditas dunia. Selain itu, tema besar dalam acara ini juga akan mencakup kerja sama internasional dan tantangan yang dihadapi oleh para pelaku industri pertambangan, termasuk isu cuaca yang mempengaruhi harga komoditas global.
Mengenai risiko yang dihadapi industri pertambangan Indonesia, Meidy yang hari ini mengenakan batik itu menyebutkan, pada 2023, sektor ini menghadapi tantangan terbesar yang lebih berat daripada risiko geopolitik yang sebelumnya mendominasi.
“Karakteristik Indonesia memang berbeda. Kita memiliki semangat pro-Indonesia yang tinggi, namun tetap harus beradaptasi dengan dinamika global,” ujarnya.
Dia juga menegaskan, untuk meningkatkan daya saing, Indonesia perlu memperkuat inisiatif make in Indonesia. Namun, beberapa tantangan dihadapi para penambang, antara lain kesulitan dalam memasarkan produk tambang, terutama nikel, ke pasar internasional.
“Hampir semua pembeli utama berasal dari Eropa dan Amerika Serikat, tetapi mereka lebih memilih produk dengan sertifikasi ESG. Kita perlu mencari cara untuk menyesuaikan produk dengan standar global dan memastikan bahwa produk Indonesia mendapat premium price,” tambahnya.
Selain itu, ia menuturkan bahwa industri pertambangan Indonesia juga harus menghadapi tantangan harga yang belum bergerak stabil.
“Harga masih turun terus dan ini tentu saja menjadi perhatian bagi kami. Namun, kami tetap berharap pada kebijakan yang dapat mendukung keberlanjutan industri ini,” tuturnya.
Hal ini diharapkan dapat membuka ruang bagi kolaborasi dan sinergi yang lebih erat antarnegara dan sektor terkait.
“Semua kegiatan ini tidak hanya bertujuan untuk berbagi informasi, tetapi juga untuk mencari solusi atas berbagai tantangan yang ada. Kami ingin memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi pemain utama dalam industri pertambangan global,” tutup Meidy.
Dengan optimisme dan kerja sama yang kuat antar berbagai pihak, sektor pertambangan Indonesia diharapkan dapat terus tumbuh dan menghadapi tantangan global dengan lebih percaya diri. (Shiddiq).