Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) menyatakan, keputusan lanjutan dari dihentikan sementara produksi stainless steel terbesar dunia, Tsingshan Holding Group Co di Indonesia berada di tangan Kementerin Perindustrian.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) ESDM, Tri Winarno mengakatakan masuknya Tsingshan ke Indonesia menggunakan Izin Usaha Industri (IUI) dengan tujuan membuat smelter pengolahan nikel, dimana izinnya berada di Kemenperin.
“Izinnya apa? IUI, berarti di Kemenperin izinnya,” ungkap Tri saat ditemui Kontan di Jakarta, Selasa (03/06).
Lebih jauh, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengakui belum mendengar terkait keputusan Tsingshan menghentikan produksi di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi itu.
“Saya belum dapat infonya,” ungkapnya singkat.
Dari sisi penambang, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengungkap bahwa anjloknya harga nikel tahun ini membuat banyak smelter nikel mengoreksi target produksi mereka.
“Koreksi harga nikel yang cukup tajam ini, tentunya berdampak besar bagi Perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan dan pemurnian nikel,” ungkap Ketua Perhapi, Sudirman Widhy Hartono saat dihubungi, Selasa (3/6).
Sepanjang tahun 2025, harga nikel di bursa metal London Metal Exchange mengalami tekanan yang cukup besar. Harganya terkoreksi di kisaran US$ 15.000 per ton. Padahal, di tahun 2023 lalu, harga nikel menembus angka US$ 30.000 perton.
“Di satu sisi, biaya produksi nikel saat ini mengalami kenaikan akibat faktor global, serta biaya investasi pembangunan pabrik nikel yang mahal, bisa berkisar 10 – 20 triliun rupiah, sementara di sisi lain harga nikel justru mengalami penurunan yang tajam,” jelasnya.
Dampak nyata dari fenomena ini menurut Sudirman adalah margin keuntungan smelter yang semakin kecil, dan keekonomian pabrik menjadi berisiko tinggi.
“Untuk mengatasi kondisi ini, hal yang wajar jika Perusahaan pabrik pengolahan nikel akan melakukan upaya-upaya efisiensi guna menekan biaya produksi, dan mengurangi potensi kerugiaan,” katanya.
Sebagai tambahan, berdasarkan informasi dari Bloomberg, Jumat (30/5), Tsingshan menghentikan beberapa lini produksi baja nirkarat atau stainless steel di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah mulai Mei 2025 ini.
Berdasarkan keterangan orang yang mengetahui masalah tersebut, langkah itu diambil demi menjadi harga baja tahan karat yang mencapai titik terendah dalam 5 tahun terakhir pada April 2025.
Selain itu, kurangnya bahan baku juga menjadi salah satu pemicu penutupan pabrik pemurnian di kawasan Morowali itu.
Menurut Macquarie Group Ltd, Tsingshan Holding Group telah memanfaatkan dominasi Indonesia dalam produksi nikel, China dan Indonesia memproduksi 71% baja tahan karat dunia.
Namun, perlambatan ekonomi China telah menekan permintaan, sementara ekspor dari kedua negara terancam oleh kebijakan tarif pemerintahan Presiden AS Donald Trump.