Riuh Perang Tarif, RI Diminta Tunda Kenaikan Royalti Minerba

Riuh Perang Tarif, RI Diminta Tunda Kenaikan Royalti Minerba

Bloomberg Technoz, Jakarta – Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) menilai wacana kenaikan royalti mineral dan batu bara (minerba) sebaiknya ditunda, di tengah risiko pelemahan permintaan komoditas tambang RI akibat perang tarif yang digaungkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Ketua Umum Perhapi Sudirman Widhy Hartono menjelaskan, selain wacana kenaikan tarif royalti, sektor pertambangan nasional ditekan oleh beberapa kebijakan fiskal dan nonfiskal pemerintah yang berlaku mulai tahun ini.

Kebijakan fiskal yang dinilai memberatkan penambang a.l. rencana kenaikan tarif royalti minerba, wajib retensi 100% devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) selama setahun, hingga kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%.

Adapun, regulasi nonfiskal yang dianggap menyulitkan a.l. pencabutan subsidi FAME untuk biodiesel B40 selain bagi segmen pelayanan publik atau public service obligation (PSO), serta mandatori penggunaan harga batu bara acuan (HBA) dalam kegiatan ekspor komoditas tersebut.

“Pemerintah harus membantu industri dengan menunda dahulu semua kebijakan fiskal, seperti rencana kenaikan royalti, dan nonfiskal; sehingga tidak membebani biaya pertambangan di tengah penurunan harga komoditas,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (9/4/2025).

Selain meminta kelonggaran dari pemerintah, Sudirman juga menyarankan agar perusahaan pertambangan fokus mengupayakan efisiensi biaya, sehingga senantiasa siap menghadapi kemungkinan penurunan harga komoditas dan pelemahan permintaan di tengah situasi perang tarif global.

Dampak Tak Langsung

Bagaimanapun, Sudirman menjelaskan sebenarnya perang tarif yang diinisiasi AS tidak akan memberikan dampak secara langsung bagi industri pertambangan Indonesia. Apalagi, komoditas minerba RI tidak ada yang diekspor secara langsung ke Negeri Paman Sam.

Walakin, dia menggarisbawahi, komoditas minerba Indonesia sebagian besar dijual ke negara-negara yang menjadi sasaran langsung kenaikan bea masuk AS.

“Misalnya komoditas batu bara kita ekspor ke China, India, Vietnam, dan Jepang. Dengan demikian, jika ekspor negara-negara tersebut mengalami penurunan akibat kebijakan tarif AS, maka bisa diperkirakan bakal terjadi penurunan kinerja industri, yang praktis akan menurunkan kebutuhan akan energi di negara-negara tersebut,” terangnya.

Penurunan kebutuhan energi tersebut, lanjut Sudirman, akan diikuti juga dengan anjloknya permintaan terhadap batu bara dan komoditas mineral lain dari negara-negara tersebut.

“Hal ini akan berdampak  kepada industri pertambangan nasional. Dampak ini juga akan terjadi di permintaan domestik batu bara, karena ekspor tekstil kita ke Amerika menurun, sehingga kebutuhan listrik menurun, dan kebutuhan batu bara juga akan menurun.”

Lebih lanjut, Sudirman menekankan efek paling mencemaskan dari kebijakan tarif Trump adalah penurunan harga semua komoditas pertambangan. “Bahkan emas yang sempat naik lebih dari US$3.000/troy ounce sudah mulai turun.”

Harga komoditas mineral logam andalan Indonesia mengalami penurunan di tingkat global sejak tarif Trump diberlakukan. Nikel dilego di US$14.180/ton di London Metal Exchange (LME) hari ini, turun 1,28% dari hari sebelumnya.

Sementara itu, tembaga dan timah dijual di US$8.655,50/ton dan US$32.603/ton, masing turun 0,88% dan 3,91%. Adapun, batu bara di pasar ICE Newcastle untuk kontrak pengiriman bulan ini dilego di US$98/ton, setelah harga anjlok 6,28% secara point to point sepanjang pekan lalu.

Adapun, AS sebelumnya memberikan tarif 32% terhadap Indonesia sebagai mitra dagangnya. Jumlah itu belum termasuk tarif dasar 10% yang dikenakan Washington kepada 180 mitra dagang mereka.

Sumber : https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/67907/riuh-perang-tarif-ri-diminta-tunda-kenaikan-royalti-minerba