Bloomberg Technoz, Jakarta – Keputusan Amerika Serikat (AS) menetapkan tarif impor terhadap komponen baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) asal China dinilai akan turut berdampak ke Indonesia selaku pemasok nikel ke Negeri Panda.
Vice President, Head of Marketing, Strategy and Planning PT Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi mengatakan ekspor feronikel (FeNi) dan nickel pig iron (NPI) RI ke China mencapai 8,67 juta ton pada 2024, naik 948% secara year on year (yoy).
Mayoritas turunan nikel Indonesia yang diekspor ke China sebenarnya masih digunakan untuk produksi industri baja. Hanya sekitar 40% saja yang digunakan sebagai bahan baku baterai EV.
“Akan tetapi, jika komponen baterai dari China dikenai kenaikan tarif impor oleh AS, memang ada potensi dampak ke penurunan permintaan terhadap komponen baterai ion-litium,” ujarnya, Sabtu (24/5/2025).
Namun, industri EV dan baterai di China saat ini sudah lebih banyak menggunakan baterai berbasis lithium ferro phosphate (LFP) ketimbang nickel manganese cobalt (NMC) atau nickel cobalt aluminum (NCA).
Berbeda dengan baterai NMC atau NCA, baterai LFP tidak menggunakan nikel sebagai komponen bahan bakunya.
Baterai LFP yang tidak menggunakan nikel juga mengalami peningkatan ekspor dari China ke AS, khususnya untuk komponen baterai pada kendaraan listrik Tesla Model 3, Tesla Model Y, Ford F-150, serta mobil-mobil listrik General Motors (GM).
“Sehingga, konsumsi nikel Indonesia lebih didominasi pada kebutuhan industri baja. Di sisi lain, kami meyakini hilirisasi akan membantu Indonesia untuk menciptakan ekosistem EV dan mengurangi ketergantungan di negara lain, termasuk China,” kata Oktavianus.
Tren Menurun
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy mengatakan ekspor Indonesia pada 2024 mencapai US$265 miliar, di mana tujuan ke China mendominasi dengan US$62 miliar dan ke AS hanya US$26 miliar.
Dari nilai total ekspor Indonesia tersebut, kontribusi produk tambang yaitu olahan nikel mencapai US$8 miliar dan batu bara senilai US$40 miliar. Sementara itu, ekspor ke China didominasi oleh produk olahan nikel sekitar US$19 miliar dan batu bara US$11 miliar.
“Berdasarkan situasi di atas, maka jika terjadi penurunan permintaan China terhadap produk olahan nikel Indonesia akibat ketegangan hubungan dengan AS, maka hal ini akan sangat berdampak kepada nilai ekspor kita pada 2025 ini,” ujarnya.
“Sebenarnya saat ini sudah terjadi penurunan nilai ekspor komoditas pertambangan akibat penurunan harga komoditas tambang dunia.”

Departemen Perdagangan AS awal pekan ini menetapkan bea masuk antisubsidi untuk impor komponen utama baterai dari China, setelah menyimpulkan bahwa bahan-bahan tersebut telah disubsidi secara tidak adil.
Penetapan awal departemen ini merupakan tonggak awal dalam kasus perdagangan yang melibatkan pasokan bahan anoda aktif, yakni komponen penting untuk baterai EV, yang mencakup bahan-bahan seperti grafit dan silikon.
Produsen grafit AS termasuk di antara para pemohon yang meminta penyelidikan apakah subsidi besar-besaran dari pemerintah China secara artifisial menurunkan harga dan mempersulit mereka untuk bersaing.
Kenaikan tarif yang tajam akan meningkatkan biaya mobil listrik buatan AS pada saat rencana pajak Partai Republik akan menghilangkan kredit konsumen untuk kendaraan tersebut.
Bea masuk awal yang diumumkan Departemen Perdagangan pada Selasa (20/5/2025) waktu setempat ini dimaksudkan untuk melawan subsidi bahan tersebut, meski penyelidikan terpisah atas dugaan penetapan harga yang tidak adil juga sedang berlangsung.
Keputusan akhir kasus perdagangan diperkirakan keluar akhir tahun ini. Namun, tidak termasuk tarif Presiden Donald Trump terhadap seluruh mitra dagang AS dan pungutan yang direncanakan pada semikonduktor, farmasi, dan produk-produk lainnya.
Departemen Perdagangan AS menemukan bahwa produsen China mendapatkan keuntungan sebanyak 721% dari subsidi.
Menurut Capstone LLC, China memproduksi sebagian besar grafit dunia. AS bergantung pada China atas 59% impor grafit alami dan 68% grafit buatan.
(wdh)