Bloomberg Technoz, Jakarta – Kementerian Perindustrian mengungkapkan bakal memperluas alternatif pasar bagi ekspor produk hilirisasi nikel, setelah China memberlakukan perpanjangan bea masuk antidumping (BMAD) terhadap baja nirkarat atau stainless steel dari Indonesia sebesar 20,2%.
“Hal ini perlu diantisipasi melalui perluasan pasar ekspor dan mendorong penyerapan stainless steel dalam negeri untuk pemenuhan rantai pasok industri nasional,” kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Setia Diarta kepada Bloomberg Technoz, dikutip Senin (7/7/2025).
Setia mengatakan perpanjangan BMAD selama 5 tahun tersebut berpotensi menekan daya saing harga ekspor baja nirkarat RI ke China, sehingga berisiko menekan kinerja ekspor kumulatif dan memperlambat kegiatan produksi di lini hilir industri nikel dalam negeri.
“Kami memahami bahwa setiap negara memiliki kebijakan untuk melindungi industri dalam negerinya. Namun demikian, Indonesia meyakini bahwa produk stainless steel yang diekspor ke China telah diproduksi secara wajar, kompetitif, dan sesuai prinsip perdagangan yang adil,” ujarnya.

Tantangan Hilirisasi
Setia tidak menampik kebijakan Pemerintah China tersebut akan memberikan tantangan bagi hilirisasi nikel di Indonesia, mengingat saat ini terdapat 55 industri smelter nikel pirometalurgi yang telah beroperasi, dan sebanyak 5 industri telah memproses hingga produk akhir seperti stainless steel slab dan coil.
Untuk itu, kata Setia, Kemenperin akan berkoordinasi lebih lanjut dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, asosiasi industri terkait, serta pelaku usaha untuk mengevaluasi langkah yang dapat ditempuh Indonesia.
Lebih lanjut, jika dinilai terdapat unsur ketidakadilan dalam penetapan BMAD itu, besar kemungkinan Pemerintah Indonesia akan melakukan pengajuan banding atau penyelesaian sengketa melalui Dispute Settlement Body (DSB) di World Trade Organization (WTO).
Setia menegaskan Kemenperin akan tetap mendorong hilirisasi dan industrialisasi di sektor nikel serta memperkuat daya saing industri baja nirkarat nasional melalui kebijakan insentif, menjaga iklim usaha yang kondusif, serta perluasan pasar ekspor ke negara-negara nontradisional.
Di sisi lain, kementerian juga mendorong pengembangan inovasi produk turunan berbasis baja nirkarat untuk menyerap produksi baja nirkarat dalam negeri secara lebih optimal.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut potensi investasi dari hilirisasi nikel pada 2030 bisa mencapai US$47,36 miliar dengan serapan tenaga kerja diprediksi menembus 180.600 orang.
Adapun, kontribusi hilirisasi nikel terhadap produk domestik bruto (PDB) per tahun ditaksir mencapai US$15,82 miliar per tahun pada 2030, dengan peningkatan ekspor senilai US$34,10 miliar.
Smelter Mandek
Di sisi lain, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) memperingatkan industri smelter nikel pirometalurgi berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF) di Tanah Air bisa makin babak belur akibat perpanjangan BMAD baja nirkarat di China.
Ketua Umum Perhapi Sudirman Widhy mengatakan ekstensi BMAD sebesar 20,2% untuk 5 tahun ke depan oleh China terhadap produk baja nirkarat dari Indonesia akan berdampak pada produksi nikel dari smelter-smelter RKEF di Indonesia.
“Hal itu mengingat penjualan ekspor NPI [nickel pig iron] dan feronikel—dua produk yang dihasilkan dari smelter RKEF sebagai bahan baku baja nirkarat — dari negara kita didominasi ke China hingga lebih dari 80%,” katanya saat dihubungi, medio pekan lalu.

Jika dampaknya berkembang serius hingga meningkatkan biaya produksi smelter RKEF dan baja nirkarat di Indonesia, lanjut Sudirman, efeknya terhadap kelanjutan produksi pabrik-pabrik pirometalurgi di Tanah Air akan sangat masif.
Terlebih, ujarnya, industri pertambangan maupun smelter nikel selama ini sudah terlebih dahulu dibebani oleh banyak faktor domestik seperti kenaikan biaya bahan bakar biodiesel B40, tarif royalti minerba, pajak pertambangan nilai (PPN), penurunan harga nikel, dan sebagainya.
“Dengan demikian, risiko penghentian produksi nikel di sebagian perusahaan tambang dan smelter bisa terjadi,” kata Sudirman.
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Perdagangan China berkeras untuk terus melanjutkan pengenaan BMAD pada impor produk baja nirkarat, termasuk dari Indonesia, di tengah upaya negara itu melindungi industri dalam negeri yang terpukul oleh kelebihan pasokan dan ketidakpastian perdagangan yang terus-menerus.
Kebijakan itu sudah diterapkan sejak 2019 dan akan dilanjutkan selama 5 tahun ke depan. Pungutan BMAD tersebut bakal dikenakan pada produk billet baja nirkarat dan gulungan canai panas dari Uni Eropa, Inggris, Korea Selatan, dan Indonesia.
Pungutan BMAD terhadap produsen Indonesia akan tetap tidak berubah sebesar 20,2%, kata pernyataan dari Kementerian Perdagangan China, Senin (30/6/2025).