Floreseditorial.com – Praktik Pertambangan Tanpa Izin (PETI) alias tambang ilegal kian marak di Indonesia. Ironisnya, aktivitas ini bahkan merambah kawasan strategis nasional seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur.
Data Kementerian ESDM per November 2024 mencatat sedikitnya 2.000 titik tambang ilegal tersebar di Tanah Air, mengakibatkan kerugian negara yang ditaksir mencapai triliunan rupiah.
Kasus tambang ilegal di wilayah IKN sendiri sempat diungkap oleh Bareskrim Polri, dengan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 5,7 triliun hanya dari aktivitas pertambangan batu bara ilegal. Lantas, mengapa praktik ini begitu sulit diberantas?
Masalah Struktural dan Lemahnya Pengawasan
Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebut, PETI adalah masalah struktural yang sudah berlangsung lama.
Menurutnya, koordinasi antarlembaga yang lemah menjadi salah satu penyebab utama.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, kewenangan perizinan tambang berada di pemerintah daerah.
Namun, setelah kewenangan ditarik ke pusat, banyak pemerintah daerah lepas tangan, sedangkan kapasitas pemerintah pusat untuk mengawasi seluruh wilayah sangat terbatas. Akibatnya, pengawasan longgar dan tambang ilegal pun bermunculan.
“Selain lemahnya pengawasan, aktor-aktor lokal dan dinasti politik ikut berperan. Mereka membekingi tambang ilegal untuk kepentingan ekonomi dan pendanaan politik, terutama menjelang Pemilu,” ungkap Bhima.
Harga Komoditas Tinggi, Korupsi, dan Sanksi Ringan
Lonjakan harga komoditas seperti emas dan batu bara turut memicu maraknya tambang ilegal. Saat harga emas hampir menyentuh Rp 1,9 juta per gram, aktivitas tambang emas ilegal meningkat tajam.
Faktor lainnya adalah korupsi dalam penegakan hukum. Bhima menyebut banyak tambang ilegal merasa aman karena menyetor pungli kepada oknum aparat. Ditambah lagi, sanksi bagi pelaku PETI masih ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Ada Beking di Balik Tambang Ilegal
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Sudirman Widhy, menegaskan bahwa pihaknya sering menerima laporan keberadaan tambang ilegal, bahkan di area yang dikelola pemegang izin resmi.
Menurutnya, persepsi masyarakat bahwa tambang ilegal mendapat perlindungan dari oknum aparat bukan tanpa alasan.
Meski Polri kerap melakukan operasi penertiban, seperti yang terbaru di Samboja, Kalimantan Timur, Sudirman menilai penindakan saja tidak cukup.
Perlu strategi pencegahan yang berkelanjutan, termasuk memperkuat pengawasan dan memberikan sanksi tegas.
PETI, Masalah Global dengan Akar Ekonomi
Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Rizal Kasli, mengungkap bahwa praktik tambang ilegal bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain.
Faktor utamanya adalah harga komoditas tinggi, kemiskinan, pengangguran, lemahnya pengawasan, dan tidak tegasnya penegakan hukum.
Lebih ironis, kata Rizal, aktivitas ini sering kali mendapat dukungan dari pemodal besar (cukong) dan jaringan perdagangan yang solid. “Kegiatan ini kasat mata tapi tidak pernah bisa diberantas tuntas karena ada dana besar yang bermain,” ujarnya.
Sudah Ada Perbaikan, Tapi Jalan Masih Panjang
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, mengatakan tata kelola pertambangan di Indonesia sebenarnya terus membaik dalam 15 tahun terakhir.
Namun, PETI tetap menjadi persoalan klasik yang kembali marak saat harga komoditas tinggi.
“Dulu izin tambang banyak bermasalah, sekarang sudah dipetakan mana yang clear and clean. Tapi tambang ilegal ini tidak banyak berubah polanya,” jelas Hendra.
Tambang ilegal di Indonesia bukan sekadar soal hukum, tetapi masalah multidimensi: lemahnya pengawasan, pembiaran struktural, keterlibatan aktor lokal, korupsi, hingga kondisi ekonomi masyarakat.
Tanpa penegakan hukum yang tegas, transparansi pengelolaan sumber daya, dan pemberdayaan ekonomi lokal, praktik PETI akan terus merajalela, bahkan di kawasan strategis seperti IKN