Regulasi Pertambangan di Indonesia: Dari Undang-Undang Pertambangan Lama Hingga Tantangan Era Pemerintahan Daerah

Regulasi Pertambangan di Indonesia: Dari Undang-Undang Pertambangan Lama Hingga Tantangan Era Pemerintahan Daerah

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Dewan Pakar PERHAPI dan Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, mengupas sejarah regulasi undang-undang (UU) pertambangan Indonesia dari masa Hindia Belanda tahun 1929 yang ditandatangani oleh Gubernur Hindia Belanda.

Meskipun sudah ada banyak perubahan regulasi, dia menekankan bahwa banyak aspek dari UU pertambangan itu yang masih relevan hingga saat ini. Meskipun telah ada pembaruan dan perubahan dalam UU pertambangan, banyak ketentuan yang tetap berpengaruh terhadap pengelolaan sektor ini di Indonesia.

“Undang-Undang pertambangan lama, yang secara formal mengakhiri Undang-Undang 1967, memberikan kewenangan kepada Bupati, Gubernur, dan Menteri sesuai dengan kewenangannya. Namun, hal ini tidak berlaku untuk wilayah tertentu yang melibatkan batas provinsi,” ujar Prof. Abrar dalam presentasi di The 3ird Mining Workshop for Journalis: Kiprah Pertambangan Indonesia untuk Mendukung Kesejahteraan di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (27/2/2025).

Di tengah pembahasan regulasi yang sudah ada, dia juga menyoroti fenomena yang sering terjadi di sektor pertambangan: kesenjangan sosial yang diakibatkan oleh distribusi sumber daya alam yang tidak merata.

Ia mengungkapkan kisah yang menyentuh hati tentang seorang rekannya yang sudah 32 tahun berkarir di dunia pertambangan.

“Ada teman saya yang sudah 32 tahun menjadi Bengkas (Bengkel Kasus), dia bilang ‘Profesor, saya ingin nampak.’ Kenapa? Karena anak-anaknya tidak punya sekolah, tetapi dengan IUP (Izin Usaha Pertambangan), dia bisa beli motor besar dan bahkan memodernisasi kampungnya,” katanya.

Fenomena orang-orang yang cepat kaya berkat kepemilikan IUP, menurutnya, bukanlah hal yang langka dalam dunia pertambangan Indonesia. Namun, di balik fenomena tersebut, muncul tantangan besar terkait regulasi yang terus berkembang.

Salah satu perubahan penting yang disoroti oleh Prof. Abrar adalah dampak dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah 2023-2024, yang mengurangi kewenangan Bupati dan beralih lebih banyak ke pemerintah provinsi dan pusat.

“Ini mengubah arah regulasi menjadi lebih sentralistik, yang mengarah pada peran Bupati yang melemah,” paparnya.

Perubahan ini, menurutnya, berpotensi menambah kompleksitas dalam pembagian kewenangan, terutama dalam pengelolaan sektor pertambangan yang selama ini sering kali melibatkan kewenangan di tingkat daerah.

Meski begitu, ia juga mencatat adanya dua sisi dari perubahan regulasi ini. Beberapa pihak merasa puas dengan adanya perubahan tersebut karena menganggapnya sebagai cara untuk mengurangi risiko hukum, namun ada pula yang merasa tidak nyaman karena pengalihan kewenangan ini mempengaruhi otonomi daerah.

“Perjalanan ini menarik, dan walaupun banyak yang masih mempertanyakan kejelasan aturan dalam perdebatan di DPR, regulasi baru ini sudah mulai diterapkan, termasuk pembahasan terkait izin pertambangan yang masih menjadi topik hangat di kalangan wartawan dan praktisi,” ujarnya.

Sebagai penutup, dia mengingatkan pentingnya transparansi dan kejelasan regulasi dalam pengelolaan izin pertambangan. Ia berharap bahwa sistem yang ada dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan berkelanjutan, sekaligus memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat luas.

“Kita harus memastikan bahwa regulasi yang diterapkan benar-benar memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar,” pungkasnya.

Melalui pemaparan ini, diharapkan para peserta seminar dan pembaca dapat lebih memahami dinamika regulasi pertambangan yang terus berkembang di Indonesia, serta bagaimana mereka dapat berperan dalam perubahan dan pengelolaan sektor ini ke depan. (Shiddiq).

Sumber :   https://nikel.co.id/2025/02/27/regulasi-pertambangan-di-indonesia-dari-undang-undang-pertambanagan-lama-hingga-tantangan-era-pemerintahan-daerah/