JAKARTA, KOMPAS.com — Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) mendorong pemerintah untuk segera menertibkan aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) yang marak terjadi di daerah Kalimantan Tengah, khususnya di Kabupaten Katingan dan Kabupaten Gunung Mas. Berdasarkan citra satelit dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sekitar 41.000 hektar lahan di Kabupaten Katingan rusak akibat aktivitas penambangan ilegal. “Operasi PETI di wilayah tersebut tidak hanya merusak ekosistem dan sungai, tetapi juga menjadi ancaman nyata terhadap tata kelola pertambangan yang berkelanjutan,” ujar Ketua Bidang Advokasi dan Hukum perhapi, Eva Djauhari, dalam keterangan tertulis, Senin (14/4/2025). Eva mengatakan aktivitas pertambangan tanpa izin telah menyebabkan kerusakan lingkungan serius, merugikan keuangan negara, serta mengancam keselamatan masyarakat dan keberlanjutan sumber daya alam nasional. Perhapi mendorong tiga langkah konkret yang harus dilakukan pemerintah.
Pertama, menghentikan seluruh aktivitas pertambangan tanpa izin termasuk di Kabupaten Katingan dan Gunung Mas. Kedua, melakukan penertiban terpadu dan berkelanjutan oleh aparat penegak hukum, Kementerian ESDM, KLHK, dan pemerintah daerah. Ketiga, melakukan penyelidikan dan penegakan hukum terhadap aktor-aktor utama di balik aktivitas tambang ilegal. Eva menegaskan bahwa pertambangan tanpa izin merupakan tindak pidana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pasal 158 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pelaku tambang ilegal dapat dipidana penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar. Sementara itu, Pasal 161 mengatur sanksi bagi pihak yang membantu atau memfasilitasi kegiatan ilegal tersebut. Selain itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga memberikan dasar hukum kuat untuk menindak pelaku perusakan lingkungan. “Landasan hukum yang ada sudah sangat jelas dan tegas. Pembiaran terhadap pertambangan tanpa izin tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mencederai konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945,” kata Eva.