Saling Punya Cadangan Terbesar Dunia, Ini Beda Kobalt RI Vs Kongo

Saling Punya Cadangan Terbesar Dunia, Ini Beda Kobalt RI Vs Kongo

Bloomberg Technoz, Jakarta – Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menjelaskan alasan Indonesia belum bisa mengoptimalkan momentum untuk memacu ekspor kobalt pada saat Republik Demokratik Kongo (DRC) melakukan moratorium.

Indonesia, padahal, merupakan produsen kobalt kedua terbesar di dunia setelah Kongo. Per 2024, produksi kobalt RI ditaksir mencapai 28.000 metrik ton atau naik dari 19.000 metrik ton pada 2023, menurut data United States Geological Survey (USGS).

Sejak 2023, RI hanya kalah dari Republik Demokratik Kongo yang menjadi produsen kobalt terbesar di dunia. Negara terbesar kedua di Benua Afrika itu memiliki produksi kobalt sebanyak 170.000 ton sepanjang 2023.

Menjelaskan hal tersebut, Ketua Perhapi Sudirman Widhy Hartono mengatakan kobalt di Indonesia dan di Kongo memiliki perbedaan genesa mineral, alias asal-usul atau cara pembentukan mineral tersebut secara primer.

Lampu depan penambang menerangi tambang kobalt. (Fotografer: Cristobal Olivares/Bloomberg)

Di Kongo, kata Sudirman, kobalt ditambang dan diolah dari pertambangan yang memang mengandung cadangan kobalt langsung terbesar di dunia.

“Sedangkan kobalt di Indonesia tidak diperoleh dari pertambangan kobalt, karena Indonesia tidak mempunyai cadangan kobalt secara langsung,” tuturnya saat dihubungi, Jumat (16/5/2025).

Kobalt di Indonesia, terangnya, merupakan mineral ikutan dari pengolahan bijih nikel limonit.

“Dalam proses pengolahan nikel limonite yang diolah dengan teknologi high pressure acid leach [HPAL] akan menghasilkan produk utama berupa nikel sulfat, dan kobalt sulfat sebagai mineral ikutan.”

Produksi kobalt di Indonesia, ujar Sudirman, sangat ditentukan oleh produksi pengolahan limonit karena kobalt Indonesia merupakan produk ikutan bijih nikel, dan bukan produk utama.

“Sehingga Indonesia, kendati memiliki cadangan kobalt yang besar, produksinya tidak bisa serta-merta ditingkatkan karena tergantung dari produk utamanya [yaitu bijih nikel limonit],” ujarnya.

Persoalan Harga

Di tingkat global, Sudirman menerangkan harga kobalt beberapa tahun terakhir justru kurang menarik di kisaran US$30.000/ton, jauh dari rekor tertingginya di titik US$80.000/ton pada 2022.

Harga kobalt terpelanting./dok. Bloomberg

Penurunan harga yang signifikan tersebut dilatari oleh dua isu utama. Pertama, karena produksi kobalt yang masif dari Kongo.

Kedua, terkait dengan tren substitusi penggunaan kobalt di baterai mobil listrik, sehingga menyebabkan kebutuhan kobalt menjadi menurun.

“Harap diketahui, kobalt awalnya banyak digunakan di baterai mobil listrik tipe MNC [manganese nickel cobalt]. Namun, penggunaannya yang berkurang di baterai mobil listrik, menyebabkan kebutuhan kobalt menurun dan harga juga menurun,” kata Sudirman.

Dia menyebut kebijakan moratorium ekspor kobalt di Kongo diharapkan memberikan efek positif bagi perusahaan pengolahan nikel yang menghasilkan kobalt sebagai mineral ikutan.

“Sebab dengan moratorium ekspor tersebut, diharapkan suplai dan permintaan atas komoditas kobalt menjadi lebih baik, sehingga berdampak pada harga yang lebih baik pula.”

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar sepakat, meskipun Indonesia adalah penghasil kobalt terbesar kedua di dunia setelah Kongo, industri pertambangan komoditas tersebut masih belum dikembangkan.

“Industri pengolahan kobalt di Indonesia memang belum berkembang seperti halnya nikel. Sebagian besar kobalt masih dijadikan sebagai [komoditas] ikutan bijih nikel,” ujarnya.

Dengan kondisi tersebut, Bisman pun menyangsikan Indonesia dapat memperoleh keuntungan untuk mengisi pasar yang ditinggalkan oleh kobalt asal Kongo di industri baterai global.

“Jadi ini momentum dan peluang pasar bagi Indonesia. Sayangnya, Indonesia belum sepenuhnya siap dan maksimal untuk mengisi pasar yang kosong ditinggal Kongo,” ujarnya.

Bisman menambahkan pangsa pasar ekspor kobalt asal Indonesia selama ini masih sama dengan nikel, yaitu ke China, lantaran kobalt masih dikategorikan sebagai mineral ikutan dalam komoditas nikel.

Nikel sulfat (kiri), kobalt sulfat (tengah), dan mangan sulfat./Bloomberg- SeongJoon Cho

Adapun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) enggan disebut mengabaikan peluang di tengah prospek penguatan harga kobalt, setelah Republik Demokratik Kongo (DRC) kukuh melanjutkan moratorium ekspor mineral logam bahan baku baterai kendaraan listrik tersebut.

Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq mengungkapkan pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18/2025 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian ESDM.

Dalam PP tersebut, pemerintah telah memasukkan kobalt sebagai komoditas yang dikenakan pajak royalti baik sebagai logam maupun sebagai mineral ikutan.

“Itu menunjukkan bahwa pemerintah menganggap kobalt sebagai sumber daya penting untuk menghasilkan pendapatan negara sebagai modal pembangunan,” kata Julian saat dihubungi, Kamis (15/5/2025).

Sebelumnya, Kongo berencana melanjutkan larangan ekspor kobalt sehingga berpotensi membuat harga logam tersebut melonjak dan menyebabkan produsen baterai global mencari alternatif.

Harga kobalt telah melonjak lebih dari 50% sejak negara Afrika yang bertanggung jawab atas tiga perempat produksi global itu menghentikan ekspor pada 22 Februari.

Harga kobalt di tengah larangan ekspor dari Kongo. (Bloomberg)

Perpanjangan larangan atau kuota yang ketat dapat mendorong harga lebih tinggi lagi, kata Benchmark Mineral Intelligence pada Rabu (14/5/2025) dalam sebuah laporan yang disiapkan untuk Cobalt Institute.

“Pemerintah DRC telah mengindikasikan bahwa kontrol ekspor lebih lanjut, termasuk perpanjangan larangan, atau kuota, akan menyusul,” kata Benchmark.

Kongo memoratorium ekspor kobalt selama empat bulan pada Februari setelah harga jatuh ke posisi terendah dalam sejarah akibat meningkatnya produksi oleh CMOC Group Ltd dari China di dua operasinya di negara tersebut.

Permintaan logam tersebut, yang juga digunakan dalam paduan super dan aplikasi pertahanan, tumbuh 12% tahun lalu dan tetap kuat, kata Benchmark.

Namun, laporan tersebut menguraikan keseimbangan yang rumit antara pembuat kebijakan, penambang, dan produsen saat mereka berupaya mengamankan bahan baku utama.

Banyak pembuat kendaraan listrik China telah beralih ke baterai litium besi fosfat atau lithium ferro phosphate (LFP) yang tidak mengandung kobalt. Pasar EV menyumbang 43% dari permintaan kobalt pada tahun 2024.

Pengendalian produksi kobalt rumit di Kongo karena hubungannya dengan tembaga. Harga logam tersebut mencapai titik tertinggi dalam sejarah tahun lalu, memacu peningkatan produksi.

Akibatnya, CMOC memproduksi 31% lebih banyak dari kapasitas kobalt yang dinyatakan di tambangnya, menurut laporan tersebut.

Glencore Plc dan Eurasian Resources Group merupakan produsen kobalt terbesar kedua dan ketiga di negara tersebut.

Indonesia menyumbang 12% dari pasokan global tahun lalu dan diperkirakan akan mencapai 22% pada 2030, kata Benchmark.

Kobalt telah menjadi titik api dalam perebutan mineral-mineral penting di dunia. China memurnikan 79% logam tersebut, sedangkan Finlandia di posisi kedua hanya menyumbang 7% tahun lalu, kata Benchmark.

AS sedang berunding dengan Kongo tentang pengamanan akses ke mineral-mineral penting termasuk kobalt dengan imbalan bantuan keamanan.

“Mengingat dominasi China di seluruh rantai pasokan kobalt dan bagian-bagian penting dari rantai nilai baterai, diversifikasi pasokan dan pengurangan risiko dari China merupakan salah satu pendorong geopolitik utama,” menurut laporan tersebut.

— Dengan asistensi Mis Fransiska Dewi

(wdh)

Sumber : https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/71410/saling-punya-cadangan-terbesar-dunia-ini-beda-kobalt-ri-vs-kongo/2