Jakarta, — Penurunan harga nikel global sejak awal tahun 2025 berdampak signifikan terhadap keberlangsungan industri pemurnian dan pengolahan nikel (smelter) dalam negeri. Tren harga yang melemah menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya margin keuntungan, meningkatnya risiko finansial, hingga ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dikutip dari Kontan.co.id Berdasarkan data S&P Global, harga nikel dibuka pada awal tahun ini di angka US$ 15.078 per metrik ton, menjadi yang terendah sejak 2020. Sepanjang 2024, harga rata-rata nikel tercatat US$ 15.328 per metrik ton, atau turun 7,7% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, mengutip Trading Economics, harga nikel per Selasa (3/6) berada di US$ 15.390 per metrik ton, naik tipis 0,94% dibandingkan hari sebelumnya, namun secara month-to-month (MoM) masih turun 0,78%, dan secara year-on-year (YoY) anjlok 19,29%.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Sudirman Widhy Hartono, menyebut bahwa koreksi tajam harga nikel ini memberikan tekanan besar terhadap smelter dalam negeri. Pasalnya, biaya investasi untuk membangun pabrik nikel yang menggunakan teknologi tinggi sangat besar, berkisar antara Rp 10 hingga 20 triliun, sementara harga jual nikel terus melemah.
“Efek dominonya adalah margin keuntungan smelter yang makin kecil dan keekonomian proyek menjadi sangat berisiko. Namun kondisi ini juga dirasakan secara global,” ujar Sudirman, Selasa (3/6).
Menurutnya, di tengah tekanan harga, wajar jika sejumlah perusahaan mengambil langkah efisiensi, termasuk pengurangan produksi, guna menghindari kelebihan pasokan di pasar global. “Perusahaan yang mengurangi produksi untuk menstabilkan pasar, menurut kami itu strategi yang normal dan lazim,” tambahnya.
Dampak penurunan harga ini sudah terlihat. Raksasa baja nirkarat dunia asal Tiongkok, Tsingshan Holding Group, dilaporkan menghentikan sementara operasi smelter nikel mereka di Indonesia per Mei 2025. Sementara itu, PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah juga sempat memangkas produksi sejak Februari lalu, meskipun manajemen menyatakan itu bagian dari masa transisi perusahaan.
Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Rizal Kasli, menilai tekanan pada industri smelter juga berimbas pada penurunan harga baja nirkarat (stainless steel) di pasar global, sehingga menekan profitabilitas perusahaan secara menyeluruh.
Yang lebih mengkhawatirkan, lanjut Rizal, penghentian produksi bisa memicu PHK massal. “Kalau produksi dikurangi atau dihentikan, jumlah karyawan juga ikut terdampak. Bisa dirumahkan, bahkan di-PHK, karena jika tidak maka beban operasional akan terus membengkak,” ujarnya saat ditemui di ESG Forum, Senin (3/6).
Selain tekanan ekonomi, Rizal juga menyoroti menipisnya cadangan nikel berkadar tinggi (saprolite) yang menjadi bahan baku utama smelter dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) untuk memproduksi stainless steel. Menurut dia, cadangan saprolite nasional diperkirakan hanya akan bertahan 9–13 tahun ke depan.
“Cadangan kita sudah tipis, beberapa ahli memperkirakan hanya cukup untuk 9 hingga 13 tahun. Apalagi smelter di Indonesia sekarang sudah lebih dari 100, bahkan data terakhir ada 144 unit,” jelas Rizal.
Kondisi ini memperkuat urgensi bagi pemerintah dan pelaku industri untuk meninjau kembali arah kebijakan hilirisasi nikel, baik dari sisi keekonomian maupun keberlanjutan sumber daya.