Bloomberg Technoz, Jakarta – Penambang membantah dugaan adanya oversupply produksi bauksit yang membuat harga komoditas tersebut jatuh, sehingga rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB)-nya perlu dikembalikan menjadi 1 tahunan dari skema 3 tahunan.
Ketua Umum Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI) Ronald Sulistyanto mengatakan harga bauksit di Indonesia tidak dipengaruhi oleh mekanisme pasar di luar negeri, sebagaimana halnya komoditas lain seperti batu bara.
Berbeda dengan batu bara yang bisa diekspor dalam bentuk mentah, bauksit mentah dan setengah jadi atau washed bauxite sudah dilarang ekspor oleh pemerintah sejak Juni 2023. Dengan demikian, permintaan bauksit murni ditentukan oleh serapan smelter domestik.
Adapun, harga bauksit untuk serapan smelter sendiri ditentukan oleh pemerintah melalui kebijakan Harga Patokan Mineral (HPM). Tujuannya adalah agar harga bauksit yang diserap smelter tidak terlalu tinggi, tetapi juga tidak terlalu rendah.

“Akan tetapi, yang namanya smelter kan pintar. Ada supply, ada demand. Sekarang ada supply, demand-nya sedikit. Ini yang mereka mau, [supaya] harga itu menjadi lebih rendah dari HPM,” terang Ronald saat dihubungi, dikutip Selasa (8/7/2025).
Di sisi lain, penambang bauksit tetap diwajibkan untuk membayar royalti dan menjual barangnya sesuai HPM.
Atas dasar itu, Ronald menilai pendapatan negara tidak pernah dirugikan oleh sektor bauksit. Hal ini berbeda dengan komoditas lain yang bisa diekspor; di mana ketika harga jatuh, pendapatan pemerintah pun ikut susut.
“Kalau bauksit enggak. Ini pakai HPM sekarang, US$40. Dia jual, dia beli harganya segitu. Masalahnya, smelter enggak mau harga US$40. Katakanlah seharusnya beli [harga HPM] misalnya US$30, dia [smelter] belinya US$28. Royaltinya saya hitung tetap US$30, bukan US$28. Artinya kan saya sudah memberikan kontriibusi ke pemerintah sesuai dengan HPM. Nah, semestinya smelter harusnya dikasih punishment dong [karena membeli] tidak sesuai HPM.”
Untuk itu, dia pun menolak alasan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Komisi XII DPR RI yang mengusulkan agar RKAB dikembalikan menjadi 1 tahunan karena produksi komoditas tambang RI kerap oversupply sehingga membuat harga jatuh.
“Kita semua dimonitor kok, semua masuk sistem. Stok kita ini ada berapa. Kalau bauksit, tidak ada oversupply. Kalau ada kelebihan stok, itu bukan oversupply produksi, tetapi memang dia mencadangkan sedikit jika ada permintaan tambahan yang tiba-tiba. Karena bauksit ini kan tidak bisa tiba-tiba jadi; harus di washing, regrading, sizing, dyeing, dan sebagainya.”
Untuk itu, dia mendesak pemerintah untuk tidak mengembalikan sistem RKAB menjadi 1 tahunan.
Alih-alih, pemerintah disarankan untuk mempertahankan skema RKAB 3 tahunan dengan mengevaluasi apa saja yang masih menjadi kelemahan dan kekurangan sistem tersebut, agar bisa dibenahi.

Produksi bauksit Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Menurut data Kementerian ESDM, produksi bauksit pada 2024 mencapai 16,8 juta ton, turun dari 2023 sebanyak 19,8 juta ton dan 2022 sejumlah 31,8 juta ton.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pekan lalu menyetujui usulan Komisi XII DPR RI untuk mengembalikan mekanisme persetujuan RKAB dari 3 tahunan menjadi 1 tahunan. Hal itu mempertimbangkan alasan ketidaksesuaian jumlah produksi minerba dengan kebutuhan atau permintaan di pasar.
Bahlil juga menyebut produksi komoditas pertambangan di Indonesia kerap jorjoran.
“Jadi menyangkut RKAB, memang kalau kita membuat satu tahun nanti dikirain kita ada main-main lagi. Namun, karena ini sudah menjadi keputusan politik, makanya kita lakukan. Mulai hari ini, dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, kami terima usulan dari Komisi XII untuk kita buat RKAB per [satu] tahun,” kata Bahlil dalam rapat bersama Komisi XII, Rabu (2/7/2025).
Aturan persetujuan RKAB menjadi 3 tahunan dari sebelumnya 1 tahunan baru berjalan selama dua tahun terakhir atau sejak diterbitkannya Permen ESDM No. 10/2023 tentang Tata Cara Penyusunan, Penyampaian, dan Persetujuan Rencana kerja dan Anggaran Biaya Serta Tata Cara Pelaporan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Ancaman Hilirisasi
Terkait dengan skema HPM, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) sebelumnya mensinyalir proses penghiliran bauksit bakal terancam imbas kebijakan baru pemerintah dalam menentukan harga patokan.
Hal ini merespons langkah smelter yang disebut tidak menyanggupi membeli dengan harga minimal yang tertuang pada aturan anyar HPM yang mulai berlaku 1 Maret 2025.
Beleid soal HPM itu tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No. 72.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan untuk Penjualan Komoditas Mineral Logam dan Batubara.
Ketua Umum Perhapi Sudirman Widhy Hartono mengatakan jika kondisi tersebut berlangsung terus-menerus tanpa ada solusi, akibatnya bisa fatal bagi industri pertambangan bauksit sehingga dapat menghentikan proses produksi.
“Karena para penambang menghentikan operasionalnya, di pihak lain smelter juga akan berhenti berproduksi sebagai akibat ketiadaan bahan baku bijih bauksit untuk diolah,” kata Sudirman.

Bagaimanapun, dia memahami kebijakan anyar tersebut ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pada harga komoditas global dan meningkatkan kedaulatan ekonomi nasional dalam menentukan nilai mineral strategis.
Namun demikian, Perhapi menyarankan agar Kementerian ESDM benar-benar melihat kondisi pasar yang sebenarnya sebelum menentukan HPM, agar adil bagi produsen maupun pembeli.
Dia menyebut penentuan HPM tanpa melihat kondisi ril di pasar akan berpotensi mengakibatkan ketidaksepakatan antara produsen dan pembeli.
Lebih jauh, kebijakan tersebut juga akan berdampak kepada kondisi penerimaan negara jika volume penjualan komoditas pertambangan mineral menurun atau bahkan terhenti akibat produsen tidak dapat menjual hasil tambangnya ke pembeli.
Dalam kaitan itu, para pemilik pengolahan dan pemurnian atau smelter enggan untuk membeli bijih bauksit sesuai HPM dengan alasan HPM akan membuat mereka rugi.
Sudirman menuturkan cara lain untuk menyikapi hal tersebut dengan mengembalikan aturan HPM seperti sebelumnya, yakni HPM hanya dijadikan basis untuk perhitungan royalti dan iuran produksi untuk penerimaan negara.
“Sehingga produsen dan buyer dapat melakukan keleluasaan untuk bertransaksi dengan harga yang layak dan dapat disepakati kedua belah pihak secara fair, guna mendapatkan profit margin dan dapat menutupi biaya operasional,” ucapnya.
Kementerian ESDM memaparkan Indonesia saat ini memiliki 14 proyek smelter mineral terintegrasi dengan total nilai investasi US$8,69 miliar (sekitar Rp144,02 triliun), yang didominasi sektor bauksit.
Dari sisi produksi, komoditas bauksit mencapai puncak optimalnya pada 2023 dengan capaian produksi sebanyak 21,8 juta ton.
Akan tetapi, setahun setelahnya, produksi bauksit Indonesia anjlok akibat penerapan kebijakan larangan ekspor bauksit yang telah dicuci sejak Juni.



