JAKARTA – Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (People) sebagai salah satu stake‐holder sektor pertambangan di Indonesia, berkomitmen untuk memajukan sektor pertambangan nasional. Bersama stakeholder pertambangan nasional lainnya seperti pemerintah; industri pertambangan, akademisi, teknik pertambangan; memiliki tanggung jawab untuk memberikan “pencerahan” terhadap isu‐isu maupun dinamika persoalan yang muncul. Demikian disampaikan Sudirman Widhy, Ketua Umum Perhapi, saat pembukaan acara Mining Workshop for Journalist di Hotel Bidakara Jakarta, Kamis( 27/2/2025).
Hadir pula dalam acara Resvani, Wakil Ketua Umum Perhapi, Prof Abrar Saleng, Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanudin, Dewan Pakar Perhapi yang terdiri dari Prof Syafrizal, Prof Rudy Sayoga, Tony Gultom, dan Hary Kristiono. Bertindak sebagai moderator, Muhammad Toha, Ketua Bidang Mineral Strategis dan Zainudin Lubis, Ketua Bidang PR & Hubungan Media Perhapi .
Widhy menyebut Mining Workshop for Journalis kali ini merupakan yang ke‐3, dimana yang pertama dilakukan di Wisma Aneka Tambang, Cisarua Bogor pada tahun 2022. Penyelenggaraam ke-2 pada 29‐Februari 2024 di Jakarta Selatan.
“Pencerahan yang dimaksud tentunya adalah pandangan kami dari Perhapi, mengenai bagaimana seyogyanya permasalahan yang muncul di sektor pertambangan nasional ditangani, yang didasarkan atas pengetahuan maupun pengalaman kami selama berkiprah di dunia pertambangan, baik sebagai praktisi professional pertambangan, akademisi; maupun dari kalangan regulator di pemerintahan,” ujarnya .
Lebih lanjut Widhy menyampaikan bahwa pandangan Perhapi bukan merupakan sesuatu hal yang mutlak kebenarannya, dan masih dapat untuk didiskusikan lebih lanjut, dengan tujuan agar semua pihak yang memiliki kecintaan terhadap dunia pertambangan nasional. Dengan demikian, dapat bersama‐sama berupaya improvement demi pertambangan nasional yang lebih baik.
Widhy memaparkan, industri pertambangan nasional saat ini menghadapi berbagai tantangan dengan dinamika perkembangan situasi yang dihadapi. Sedikit banyak berdampak pada citra sektor pertambangan nasional baik tantangan yang berasal dari luar, seperti adanya dinamika geopolitik internasional dan dinamika supply‐demand komoditas mineral dan batubara di pasar internasional yang mengakibatkan hargak omoditas hasil pertambangan mineral dan batubara mengalami pasangsurut.
Tantangan yang dihadapi industri pertambangan dari dalam negeri, lanjut Widhy, seperti teperosoknya citra sektor pertambangan nasional sebagai akibatmaraknya kasus-kasus pelanggaran hukum; seperti maraknya kegiatan pertambangan tanpa izin, perusakan lingkungan dengan mengatasnamakan kegiatan tambang; maupun kasus‐kasus korupsi dan kasus pidana di sektor pertambangan.
“Belum lagi munculnya regulasi-regulasi baru di sektor pertambangan maupun di sektor lain yang juga memberikan dampak kepada keberlanjutan operasional pertambangan, seperti misalnya regulasi perizinan di bidang lingkungan hidup, kehutanan; tata ruang wilayah, maupun regulasi di bidang fiskal, yang sedikit banyak menambah beban bagi industri pertambangan di dalam mengelola kondisi perusahaannya agar bisa tetap melanjutkan operasional tambang dengan tetap harus mematuhi kewajiban dari regulasi tersebut,” ujar Widhy.
Ia mengatakan, malangan industri pertambangan nasional sedang hiruk‐pikuk dengan topik perbincangan hangat sebagai akibat munculnya regulasi-regulasi baru yang sedikit banyak akan berdampak terhadap pada kelangsungan operasional tambang.
Beberapa regulasi yang menjadi topik perbincangan cukup hangat tersebut, antara lain, diawali oleh munculnya regulasi mengenai kewajiban atau mandatory penggunaan fuel Biodiesel B40 oleh Menteri ESDM, yang juga diiringi dengan pencabutan subsidi pemerintah atas biaya pengadaan FAME sebagai bahan utama pembuatan pertambangan terutama Biodiesel.
Widhy mengungkapkan beberapa kalangan dari Perusahaan- perusahaan jasa pertambangan, menyampaikan pandangannya jika mereka masih dapat memaklumi keharusan penggunaan Biodiesel B40 tersebut guna membantu pemerintah mengurangi impor solar (diesel‐fuel).
Namun demikian, kata Widhy, mereka mengeluhkan pencabutan intensif subsidi atas biaya pengadaan FAME yang berdampak operasional yang lumayan signifikan.kepada kenaikan beban biaya. Kemudian sejak beberapa pekan lalu, kita juga dihadapi oleh kemunculan regulasi baru, yaitu rencana revisi atas PP No 36 tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor.
Pemerintah mewajibkan eksportir di bidang sumber daya alam wajib memarkir DHE nya sebesar 100% di dalam negeri selama 1 tahun. Beberapa dari kalangan industri pertambangan telah menyampaikan keluhan atas kemunculan regulasi ini karena sangat mengganggu cash‐flow Perusahaan mereka.
“Dan tentunya yang paling menyita perhatian kalangan pertambangana adalah revisi Undang‐Undang Minerba yang baru saja diketok oleh DPR beberapa hari lalu dimana salah satu item revisi yang paling banyak diperbincangkan adalah pemberian prioritas IUPK kepada Ormas Keagamaan dan UMKM,” kata Widhy.(RA)
Sumber : https://www.dunia-energi.com/kiprah-pertambangan-nasional-untuk-mendukung-kesejahteraan/