Mining Industry Indonesia (MIND ID) menyebut pabrik nikel di Filipina dan Australia mandek usai Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi menaikan tarif impor untuk hampir semua negara, termasuk Indonesia yang dikenakan tarif 32%.
Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID, Dilo Seno Widagdo, menyampaikan sejumlah perusahaan tambang di Indonesia justru tidak secara langsung terpengaruh oleh perang tarif yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump.
Menurut Dilo, komoditas yang termasuk dalam kategori mineral cenderung dikenakan tarif yang lebih rendah, bahkan masih berada di bawah angka 32% dari tarif yang ditetapkan oleh Trump.
“Sebanyak 32% itu gak bisa dipukul rata. Artinya gue (MIND ID) sudah mencoba memulai advokasi regulasi, sebelum Trump ngomongin,” kata Dilo kepada wartawan di Jakarta, Kamis (17/4).
Selain itu, Dilo menyampaikan kebijakan Presiden AS Donald Trump turut berdampak pada sejumlah pabrik nikel di negara lain, seperti Filipina dan Australia. Kendati demikian, ia telah mengingatkan seluruh anggota holding MIND ID untuk menjaga efisiensi dengan menekan biaya produksi agar tidak melebihi harga jual rata-rata (average selling price).
“Filipina mati nih pabrik nikelnya, Australia mati pabrik nikelnya karena harganya sekarang turun. Mereka biayanya tinggi. Kalau gue (MIND ID) sudah antisipasi itu,” tambah Dilo.
Harga Komoditas Minerba Diprediksi Turun Gara-gara Tarif Trump
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan Bisman Bakhtiar juga menyebut harga nikel berpotensi menurun karena terjadinya oversupply di pasar global. Kendati demikian, Bisman menyebut harga nikel saat ini cenderung stagnan di rentang US$ 15-17 ribu per ton.
“Kalau tembaga sempat naik menjelang kebijakan impor AS, tapi setelah tembaga masuk dalam komoditas yang dikecualikan, harganya relatif stabil. Akan tetapi ada potensi penurunan harga karena faktor perlambatan ekonomi global,” kata Bisman kepada Katadata.co.id pada Rabu (10/4).
Di lain sisi, menurut Bisman, emas justru menjadi komoditas investasi yang paling aman saat ini. Kondisi ekonomi yang tidak baik membuat harga emas melambung.
“Emas akan semakin diburu jika indikasi ketidakstabilan ekonomi terus berlanjut, sehingga harga potensial merangkak naik,” katanya.
Di samping itu, harga komoditas pertambangan seperti nikel dan batu bara diperkirakan turun akibat kebijakan tarif Trump meski tak terdampak langsung. Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Sudirman Widhy Hartono mengatakan, tidak mengekspor barang tambang ke Amerika serikat (AS).
“Namun demikian, produk tambang kita umumnya diekspor ke negara-negara yang terkena regulasi tarif tersebut. Hasil komoditas batu bara kita ekspor ke Cina, India, Vietnam, Jepang,” kata Sudirman saat dihubungi Katadata.co.id pada Rabu (9/4).
Jika kinerja ekspor negara-negara itu menurun akibat kebijakan tarif AS, menurut dia, akan terjadi penurunan aktivitas industri yang akan menurunkan kebutuhan energi di negara tersebut.
“Kemudian akan diikuti juga dengan menurunnya permintaan batu bara dari negara-negara itu. Hal ini akan berdampak kepada industri pertambangan nasional,” ujarnya.
Dia menyebut tarif Trump juga bisa berdampak bagi permintaan batu bara domestik, jika kinerja ekspor tekstil ke AS turun. Hal ini akan menyebabkan kebutuhan listrik dan batu bara menurun.
“Hal lain yang juga perlu dicatat akibat kebijakan Trump ini, harga semua komoditas tambang mengalami penurunan, bahkan harga emas yang sempat naik lebih dari US$ 3000 per troy ounce sudah mulai turun,” ujarnya.