RKAB Jadi 1 Tahun, Penambang Sebut Harga Nikel Bisa Kian Tertekan

RKAB Jadi 1 Tahun, Penambang Sebut Harga Nikel Bisa Kian Tertekan

Bloomberg Technoz, Jakarta – Niat pemerintah mengembalikan persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) pertambangan mineral dan batu bara (minerba) menjadi tiap 1 tahun dari 3 tahunan diproyeksikan membuat harga nikel justru makin tertekan, alih-alih bangkit.

Presiden Direktur PT Elit Kharisma Utama Tonny Hadhiwalujo menjelaskan harga nikel tidak bisa serta-merta naik hanya karena kuota produksi bijihnya dibatasi dengan mengubah RKAB menjadi 1 tahunan.

Penyebabnya, harga jual bijih nikel ke pabrik pemurnian atau smelter telanjur anjlok akibat permintaan dan daya beli industri offtaker untuk bijih nikel juga sedang lesu.

Nikel dilego di harga US$15.451/ton di London Metal Exchange (LME) hari ini, menguat 0,97% dari penutupan sebelumnya. Harga nikel telah anjlok lebih dari 50% sejak periode short squeeze pada 2022.

Bagi sektor tambang, kata Tonny, bila produksi dan penjualan berkurang, dipastikan arus kas dan belanja modal capital expenditure (capex) penambang akan terdampak.

Belum lagi, pemerintah juga memberlakukan kebijakan Harga Patokan Mineral (HPM) yang diklaimnya turun menekan profitabilitas perusahaan tambang nikel.

“Jadi memang perlu ada usaha pengendalian harga. Namun, bukan di RKAB, melainkan di jumlah produksi smelter-nya. Seperti yang saat ini sedang terjadi, banyak line produksi smelter berhenti dan melakukan maintenance,” kata Tonny saat dihubungi, Jumat (4/7/2025).

Penyadapan bijih nikel di tungku matte di smelter nikel yang dioperasikan oleh PT Vale Indonesia di Sorowako, Sulawesi Selatan./Bloomberg-Dimas Ardian

Lebih Rumit

Tonny menjelaskan masa berlaku RKAB menjadi 1 tahun, akan makin mempersulit penambang nikel untuk mencapai kuota yang direncanakan karena biasanya persetujuan rencana produksi  baru diperoleh pada Februari atau Maret tahun berjalan, bahkan bisa lebih lambat.

Walhasil, perusahaan tambang tidak bisa mulai produksi dari awal tahun.

Selain itu, penambang juga menjadi lebih repot karena satu tahun merupakan waktu yang pendek untuk membuat perencanaan bagi RKAB.

Dia mengungkapkan usulan mengubah RKAB menjadi 1 tahunan lebih relevan untuk komoditas batu bara, tetapi  tidak untuk bijih nikel.

Hal ini karena, berbeda dengan bijih nikel yang harus diolah dahulu di dalam negeri, batu bara bisa langsung diekspor sehingga pengendalian suplai dan permintaannya melalui RKAB akan lebih efektif.

“Sedangkan bijih nikel adalah bahan baku smelter bukan produk akhir, sehingga pengendalian harganya ada di jumlah produksi smelter,” jelasnya.

Dia pun menolak usulan RKAB dikembalikan menjadi 1 tahunan karena dinilai tidak cocok diberlakukan sama rata untuk seluruh komoditas mineral termasuk nikel.  “Usulan saya, bila RKAB mau diberlakukan 1 tahun, untuk batu bara saja,” imbuhnya.

Permintaan dan daya tahan cadangan nikel Indonesia./dok. APNI

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) sebelumnya juga menolak usulan persetujuan RKAB pertambangan minerba kembali menjadi 1 tahun. APNI meminta pemerintah untuk mempertahankan periode persetujuan RKAB dalam kurun 3 tahunan.

Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan meskipun pemerintah berkomitmen untuk menjaga keberlanjutan industri pertambangan nasional, Meidy menilai persetujuan RKAB secara tahunan bisa menghambat investasi.

“⁠Sistem ini tidak perlu diubah kembali menjadi 1 tahun. Kepastian jangka menengah sangat vital bagi perencanaan investasi dan operasional perusahaan,” kata Meidy dalam keterangannya, Kamis (3/7/2025).

Meidy menuturkan saat ini terdapat lebih dari 4.100 izin perusahaan pertambangan. Perinciannya, sebanyak 3.996 izin usaha pertambangan (IUP), 15 izin usaha pertambangan khusus (IUPK), 31 kontrak karya (KK), dan 58 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B).

Dengan demikian, ribuan perusahaan mesti mengajukan persetujuan RKAB apabila skema evaluasi dikembalikan menjadi periode 1 tahunan.

Situasi itu, kata dia, bisa menghambat kelancaran investasi, kegiatan produksi dan kontribusi pendapatan untuk daerah dan pemerintah pusat.

Menurutnya, periode evaluasi RKAB dalam bentuk 3 tahunan bisa memberi kepastian usaha dan efisiensi untuk pemerintah dan perusahaan.

APNI mengusulkan pemerintah memperkuat evaluasi realisasi produksi tahunan untuk memastikan kesesuaian antara target RKAB dengan permintaan riil pasar domestik dan global.

“Ini lebih efektif daripada mengubah periode RKAB,” kata Meidy.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyetujui usulan Komisi XII DPR RI untuk mengembalikan mekanisme persetujuan RKAB dari 3 tahunan menjadi 1 tahunan.

Hal itu mempertimbangkan alasan ketidaksesuaian jumlah produksi minerba dengan kebutuhan atau permintaan di pasar.

“Jadi menyangkut RKAB, memang kalau kita membuat 1 tahun nanti dikirain kita ada main-main lagi. Namun, karena ini sudah menjadi keputusan politik, makanya kita lakukan,” kata Bahlil dalam rapat bersama Komisi XII, Rabu (2/7/2025).

Aturan persetujuan RKAB menjadi 3 tahunan dari sebelumnya 1 tahunan baru berjalan selama dua tahun terakhir atau sejak diterbitkannya Permen ESDM No. 10/2023 tentang Tata Cara Penyusunan, Penyampaian, dan Persetujuan Rencana kerja dan Anggaran Biaya Serta Tata Cara Pelaporan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Saat itu, Kementerian ESDM beralasan perpanjangan rentang waktu RKAB ditujukan untuk memperbaiki tata kelola dan efisiensi dalam pelayanan perizinan pertambangan mineral atau batu bara.

Aturan tersebut dianggap bisa mengefektifkan pemenuhan aspek esensial dalam penyusunan RKAB hingga efisiensi tata waktu.

Sumber : https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/76175/rkab-jadi-1-tahun-penambang-sebut-harga-nikel-bisa-kian-tertekan

Untuk Pendaftaran Keanggotaan Dapat Menghubungi Bagian Keanggotaan Sekretariat PERHAPI