Bloomberg Technoz, Jakarta – Penyetopan sementara sejumlah lini produksi smelter pirometalurgi di Indonesia dinilai menjadi pertanda industri hilir nikel di dalam negeri sedang tidak baik-baik saja.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy Hartono menyebut koreksi harga nikel masih menjadi faktor pemberat utama yang menekan kinerja industri pengolahan komoditas mineral logam tersebut.
“Sepanjang 2025 ini, harga nikel di bursa London Metal Exchange memang mengalami tekanan yang cukup besar. Harganya terkoreksi di kisaran US$15.000/ton, padahal pada 2023 harga nikel menembus angka US$30.000/ton,” ujarnya saat dihubungi Bloomberg Technoz.
Koreksi harga nikel yang cukup tajam tersebut, kata Sudirman, bakal berdampak besar bagi perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan dan pemurnian atau smelter.

Tidak berhenti sampai di situ, biaya produksi nikel saat ini mengalami kenaikan akibat faktor global. Biaya investasi pembangunan pabrik nikel juga mahal di kisaran Rp10 triliun—Rp20 triliun, padahal harga nikel justru mengalami penurunan yang tajam.
“Dampaknya nyatanya adalah margin keuntungan smelter yang makin kecil, dan keekonomian pabrik menjadi beresiko tinggi,” tuturnya.
Sudirman menerangkan fenomena tekanan bisnis akibat harga nikel yang masih lesu tidak hanya dialami oleh perusahaan smelter di Indonesia, tetapi nyaris di seluruh dunia.
“Untuk mengatasi kondisi ini, hal yang wajar jika perusahaan pabrik pengolahan nikel akan melakukan upaya-upaya efisiensi guna menekan biaya produksi, dan mengurangi potensi kerugiaan,” kata Sudirman.
Bagaimanapun, dia menggarisbawahi bahwa penurunan harga nikel ini adalah siklus yang normal dan lazim yang dialami oleh hampir semua komoditas. Toh, harga nikel pernah menyentuh level sangat rendah di kisaran US$10.000/ton pada 2016, tetapi juga pernah menembus di atas US$40.000/ton.
“Dalam kondisi harga nikel kurang baik seperti saat ini, maka jika ada perusahaan yang mengurangi produksinya untuk menjaga kelebihan pasokan nikel di pasar dunia, Perhapi menilai hal itu adalah strategi yang normal dan lazim,” ujarnya.
Sebagai antisipasi gangguan produksi nikel, lanjut Sudirman, Perhapi menyarankan kepada pemerintah agar melakukan tata kelola nikel dengan lebih baik, guna memastikan keseimbangan antara suplai dan permintaan dengan kebutuhan nikel global.
“Sebagai negara penghasil produksi nikel terbesar di dunia, Indonesia sudah sewajarnya dapat bertindak sebagai negara yang mempengaruhi harga nikel dunia, dengan mekanisme pengaturan produksi yang seimbang sesuai kebutuhan nikel dunia,” tegasnya.
Makin Meluas
Untuk diketahui, fenomena pemangkasan sementara sebagian lini produksi smelter pirometalurgi ditengarai telah meluas, tidak hanya di Kawasan Industri Morowali, sebagai respons dari tren penurunan harga nikel dan permintaan baja nirkarat.
Ketua Umum Indonesia Mining and Energy Forum (IMEG) Singgih Widagdo mengatakan permintaan offtaker terhadap komoditas turunan nikel yang dihasilkan smelter berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF) tengah merosot.
“Benar memang terjadi penurunan produksi, bahkan bukan saja di Morowali. Kondisi ini sangat jelas karena demand sedang turun dan bersamaan raw material, harga nikel premium, dinilai cukup mahal. Alhasil, smelter melakukan pengurangan produksi, termasuk mengendalikan stok yang dinilai cukup besar,” ujarnya saat dihubungi Bloomberg Technoz.

Selain itu, sebut Singgih, fenomena pemangkasan sementara sebagian lini produksi smelter nikel untuk bahan baku baja nirkarat (stainless steel) di Tanah Air juga dipicu oleh kontraksi industri di negara importir, China, yang mengakibatkan penurunan permintaan.
Jatuhnya permintaan dari China terbaca dari hasil Purchasing Manufacture Index (PMI) China pada Mei yang bertengger di zona kontraksi 48,30. Bahkan, PMI China sampai akhir 2026 diproyeksikan sebatas 51 dan 2027 sebesar 50,70.
“Dengan kondisi seperti ini, jelas bahwa pemerintah harus benar-benar memperhitungkan antara besaran produksi dengan nilai serapan dan hilirisasi smelter,” kata Singgih.
Kendati demikian, Singgih masih optimistis industri hilir nikel di Tanah Air akan tetap berjalan dengan baik ke depannya dan tidak mengarah pada krisis atau bahkan gulung tikar.
Menurutnya, disrupsi pada perminatan dan suplai merupakan kondisi wajar yang biasa terjadi dalam dinamika pasar komoditas, menyesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi berbagai negara.
“Sebaiknya juga, pemerintah harus mendorong industri semifabrikasi dan fabrikasi agar output hilirisasi nikel juga banyak terserap di dalam negeri,” tutur Singgih.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) juga mengamini pemangkasan sementara sebagian lini produksi di industri hilir nikel tidak hanya dialami oleh Tsingshan Holding Group Co, tetapi sejumlah perusahaan smelter pirometalurgi di Tanah Air.
Smelter pirometalurgi yang berbasis RKEF membutuhkan nikel kadar tinggi untuk diolah menjadi nickel pig iron (NPI) feronikel (FeNi), atau nickel matte sebagai bahan baku penting dalam pembuatan baja nirkarat.
Dalam kaitan itu, Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin menyebut permintaan NPI saat ini sedang menurun. Di sisi lain, biaya produksi smelter makin meningkat, terutama sejak pemerintah menaikkan tarif royalti mineral dan batu bara (minerba) akhir April.
“Tidak bisa disebut cuma karena kenaikan royalti, tetapi juga bisa disebut karena biaya produksi meningkat; di mana harga juga tidak worth it [setimpal]. Bleeding sih [bisnis smelter pirometalurgi],” ujarnya saat ditemui di sela acara Critical Minerals Conference & Expo, Rabu (4/6/2025).

Meidy menyebut Tsingshan—yang beroperasi di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah — bukanlah satu-satunya perusahaan hilir nikel yang tengah melakukan penyetopan sementara di sebagian lini produksinya.
Meidy mencontohkan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNI) termasuk jajaran perusahaan yang juga mengambil kebijakan serupa.
“Virtue Dragon itu juga mengurangi, termasuk Huadi itu juga mengurangi. Jadi kapasitas output produksi mungkin tahun ini berkurang ya, kalau khusus NPI saja,” kata Meidy.
Sekadar catatan, VDNI yang beroperasi di Kawasan Industri Konawe, Sulawesi Tenggara merupakan salah satu lini usaha Jiangsu Delong Nickel Industry Co — raksasa baja China sekaligus investor besar hilirisasi nikel Indonesia asal Negeri Panda selain Tsingshan.
Selain VDNI, Jiangsu Delong juga merupakan investor di balik PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di Morowali dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Konawe.
Adapun, HNI yang di Kawasan Industri Bantaeng, Sulawesi Selatan juga disokong oleh investor China, Shanghai Huadi Industrial Co Ltd, bersama mitranya di Indonesia, PT Duta Nikel Sulawesi.
Lebih lanjut, Meidy berpendapat keputusan menyetop sementara sebagian lini produksi merupakan hal yang realistis untuk ditempuh pelaku industri hilir nikel saat ini.
“Kalau lagi shutdown production, enggak semua, hanya beberapa line. Pertama, karena kan cost [biaya] saat ini meningkat. Sejak royalti naik, harga bijih nikel juga jadi dobel,” ujarnya.
Sebelumnya, Nickel and New Energy Research Director Tsingshan, Lynn, mengonfirmasi kabar penghentian sementara sejumlah lini produksi baja nirkaratnya di Indonesia, yang diduga dilakukan seiring dengan berlanjutnya tekanan harga nikel pada tahun ini.
“Ya, kami telah menghentikan jalur produksi cold rolling,” ujarnya saat dihubungi Bloomberg Technoz.
Secara umum, lanjutnya, Lynn mengindikasikan produksi dari smelter nikel pirometalurgi di Indonesia masih aman untuk tahun ini.
Untuk NPI, misalnya, Tsingshan memproyeksikan output atau produksi dari Indonesia mencapai 1,74 juta ton pada 2025.

Margin Tipis
Terpisah, Global Sales Head Eternal Tsingshan Group Ltd Steven Chen mengutarakan margin industri smelter nikel—tidak hanya di Indonesia, tetapi di tingkat global — tengah tertekan, bahkan ada yang mencapai nol dan nyaris nol.
Industri smelter, terangnya, tengah tertekan oleh situasi ketidakpastian global akibat sentimen perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China. Belum lagi, harga nikel terus terpangkas dan menjauhi rekor seperti periode short squeeze pada 2022.
“Kami juga mendengar soal pemangkasan produksi baja nirkarat di Indonesia. Di Morowali juga terjadi pemangkasan kecil. Ini adalah fenomena lazim hari-hari ini, baik di China maupun di Indonesia,” terangnya di sela agenda Critical Minerals Conference & Expo.
Chen menggambarkan harga baja nirkarat di Negeri Panda juga kian rontok. Untuk itu, Tsingshan saat ini lebih fokus untuk mengirimkan produksinya di Indonesia ke pasar-pasar luar negeri lainnya, ketimbang reekspor ke negara asal perusahaan itu, yaitu China.
“Saya pikir pada kuartal I-2025, ekspor ke China mencakup 29% dari total produksi baja nirkarat Indonesia. Ini adalah realisasi terendah dalam, mungkin, bertahun-tahun terakhir,” tuturnya.
Melihat kondisi harga nikel dan baja nirkarat yang bergerak makin melemah, Chen menyebut tidak menutup kemungkinan Tsingshan juga akan merevisi rencana produksi NPI mereka.
“Tentu saja. Seperti saya katakan, margin [industri smelter saat ini] terus menurun, jika dibandingkan dengan beberapa bulan terakhir atau akhir tahun lalu. Perusahaan [smelter] sedang berjuang dengan isu ini. Jadi ya [kami mempertimbangkan pemangkasan produksi NPI].”
Terkait dengan rencana bisnis Tsingshan di Indonesia untuk 2025, Chen menyebut raksasa baja nirkarat terbesar di dunia itu akan memantau perkembangan margin di industri smelter terlebih dahulu.
“Katakanlah jika margin terus menipis, kami akan melihat kemungkinan perluasan pemangkasan atau bahkan penutupan sementara produksi di lini-lini operasi yang kurang prospektif. Menurut saya dalam waktu yang tidak lama lagi. Saya akan memberi kabar lagi nanti,” ujarnya.
Nikel diperdagangkan di harga US$15.395/ton pada Kamis di LME, melemah 0,28% dari penutupan hari sebelumnya.
Gejala ambruknya harga nikel sudah terdeteksi sejak 2023. Rerata harga saat itu berada di angka US$21.688/ton atau terpelanting 15,3% dari tahun sebelumnya US$25.618/ton. Kemerosotan itu dipicu oleh pasar yang terlalu jenuh ditambah dengan lesunya permintaan.
(mfd/wdh)